Sabtu, 19 Desember 2009

talking talking

hey minna~
saiia kembali~
just say hello en kasi beberapa fic~
hehe
fic-fic saiia ini udah di post juga di ffn, en name saiia sebagai authoe adalah cassie-HAIKU
gitu deh~
baca en review ya~
ntar, saiia kasi lagi catatan buat jadi anak baek~
oke~~~

fanfic naruto

Well, ni pertama kalinya ngetik lagi di laptop setelah insiden itu *nggak mo nyebut2 lagi* Yosh! Harus semangat! Semangat itu bagus buwat hati. Yeah! Good! Semangat yang bagus akan menghasilkan kerjaan yang bagus pula! Kaiak Naruchan! Here we go! *ketawa gaje*
Thousand years
Warning : YAOI en INCEST plus PEDO *makin terlarang makin bagus*
Gajeness, bahasa ambur-adul
Genre : romance/family/terserah
Pairing : U. Naruto X U. Sasuke *yg disebut duluwan jd seme*
Rate : M
Bercanda! Ratenya K koq! Ga mungkin saia yg n.b masih di bawah umur kuat bikin lemon
Disclaimer : eum, Pak Masashi, pinjem tokohnya ya, bentar kok! Cuma oneshoot doank ini
Summary : keluarga vampir. Taulah, umurnya uda tua, muka tetep kinclonk

Pagi yang indah. Tapi ini masih belum pagi. Ini baru pukul 3 pagi. Yeah, t-i-g-a p-a-g-i. Di mana semua manusia kebanyakan sedang asik ngorok di pelabuhan mimpi. Dan saat itulah, terdengar suara kencang tangisan seorang, em, seekor, eh, sebuah, eum, secarik *kertas kali!* yah, pokoknya satu! Lahir satu anak vampir. *ga usa peduliin kata2 Stephenie Meyer klu vampir ga bisa beranak* Di saat ini, tahun 20xx, tercipta sebuah keagungan, ketidakmungkinan yang menjadi nyata dan sebuah kekeliruan *bikin bingung* Akankah sesuatu yang baru datang itu melengkapi makhluk lain yang telah tiba lebih dulu? Akankah ia melambaikan tangan, tersenyum tulus dan pergi dalam damai (??) nggak ngerti ya? Saiia juga. Hehehe. Maap. Tp paragraf gak jelas itu cuma iseng. Aio kita mule aje penpik~nye!

Uzumaki Naruto, sesosok vampir dengan rambut pirang, tubuh tinggi-tegap *beda ma saia yg semampai-semeter taq sampai* dan tentu saja, ketampanan. Pernahkah kau percaya, bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidak baik? Begitulah. Berlebihan *bahasa sastranya hiperbola* memang tidak baik, seperti halnya Naruto. Ketampanannya yg begitu t.o.p b.g.t w.o.w malah membuatnya terlihat cantik. Dan here he is. Di sebuah gank sempit di tengah kota besar London, di mana biyasanya orank2 tak bertanggung jawab bersembunyi.
Ia menjilat sudut bibirnya, mengecap rasa amis darah dari sang recipient. “Sayang sekali. Dia sangat tampan, tapi lebih memilih menjadi preman yang meresahkan kota ini,” katanya. Ia berdiri *sebelumnya jongkok* dan meninggalkan sebuah mayat pria tampan berambut hitam dengan baju yang tidak menutupi perutnya. [1]
Naruto lebih memilih berjalan melintasi malam. Ia memandang jauh ke arah langit, sembari bersiul kecil. Langit malam ini sangat cerah. Bintang-bintang bertaburan seperti kismis di atas roti kismis *jadi inget teori atom J.J.Thompson* Ia berjalan menuju pertokoan yang sangat ramai. ‘Ah, ini kan Natal’ pikirnya. Ia mempercepat jalannya, mencari-cari toko yang kira-kira menjual barang hadiah. Ia berhenti tepat di depan sebuah toko kain. Lengkung halus menghiasi bibirnya.
Naruto masuk ke dalam toko itu. Seorang wanita cantik berambut pirang menyambutnya. “Selamat datang. Ada yang bisa saia bantu?”
“Aku ingin mencari hadiah untuk beberapa ‘orang’,” kata Naruto.
* * *
“Hai! Naruto! Ke mana saja sih? Kami menunggumu, nih!” teriak Kiba. Ia melempar pandangan sebal ke arah sepupunya itu.
“Maaf. Nih, sebagai tanda-minta-maaf,” kata Naruto sambil nyengir. Ia menyerahkan sesuatu.
“Kenapa terlambat? Biasanya kau hanya perlu beberapa menit agar kenyang, ‘kan?” kata Uzumaki Kushina lembut.
“Ah, Kakak. Tadi aku hanya sedang memandangi langit,”
“Aneh,” kata Gaara. “Kau benar-benar vampir yang aneh,” tambahnya.
Naruto nyengir lagi. “Maaf, deh. Kau sudah mau datang jauh-jauh dari Mesir hanya untuk merayakan Natal bersama kami,”
“Ini bukan ‘hanya’. Ini hari yang membahagiakan, tahu!” kata Sakura. Rambut merah mudanya sedikit berantakan saat ia menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya.
“Tidak usah heran,” kali ini Neji angkat bicara. “Toh ia anak bungsu, jadi kalau manja tidak masalah,”
“Iya, ya, maaf. Yang penting sekarang kita semua sudah berkumpul, kan? Ayo, mulai, sebelum salju turun,”
“Ya!” teriak Kiba dan Sakura semangat.
***
“Ah, daging kalkunnya enak sekali!” kata Naruto. Ia tersenyum ke arah kakaknya, Kushina. “Kapan, ya, dia lahir? Aku sudah tidak sabar ingin jadi ‘kakak’. Pasti dia keren, seperti kakaknya ini” tambahnya narsis.
“Haha. Kau ini. Dia akan menjadi anggota keluarga termuda, lho! Itu berarti, gelar ‘bocah’mu selama 400 tahun ini akan diambil,” kata Kushina. Naruto tersenyum tulus.
“Tidak masalah. Toh, aku ‘sudah’ dewasa sekarang,” Mereka berdua sama2 tersenyum.
“Hei! Kalian berdua jangan hanya di sini saja! Ayo keluar! Salju sudah turun. Mau sampai kapan nyuci piring terus?” kata Minato, suami Kushina yang tiba-tiba muncul.
“Ya, kami sudah selesai kok,”
***
Salju turun. Udara terasa dingin. Tapi tidak bagi keluarga besar ini. Karena mereka vampir, udara yang begitu menusuk tulang itu tidak ada andilnya dalam kulit mereka.
“Ha . . . . . ini Natal ke-900 yang sudah kualami,” kata Minato.
“Ini Natalku yang ke-843,” kata Sakura.
Kiba meletakkan gelasnya, lalu menuang wine ke dalamnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Ini Natalku yang ke-600!” Ia lalu meneguk winenya.
Kushina tersenyum. “Ini Natalku yang ke-785. Dan menjadi natal spesial karena ak . . . ukh . . . “ Kushina terjatuh dari kursinya. Ia memegang perutnya yang terasa sakit. Minato, yang tadinya ada di seberang ruangan melesat dengan cepat ke arah istrinya.
“Ada apa?”
“Ukh . . sakit . . “ kata Kushina. Nafasnya tersengal.
“Panggilkan Tsunade!” teriak Minato. Naruto melesat cepat pergi ke rumah sakit yang jaraknya 3 km dari sana. Jarak itu bisa ia tempuh hanya dalam beberapa detik, dan ia sudah kembali lagi membawa seorang dokter manusia berambut pirang.
“Ada apa?” tanya Tsunade saat mereka sampai di gedung tempat keluarga besar vampir itu bernatal-ria. Ia tak sempat bertanya pada Naruto tadi karena mereka terbang dengan kecepatan lebih dari 300 km per jam.
“Kushina, perutnya sakit,” kata Minato. Wajah tampannya menunjukkan ekspresi cemas. Tsunade berjalan mendekati Kushina yang sedang terkapar tak berdaya. Wajahnya mengekspresikan kesakitan mendalam *patah hati kali* Tsunade tersenyum samar.
“Dia akan melahirkan. Sebaiknya kalian keluar. Aku bisa mengatasi ini sendiri. Tapi akan lebih baik kalau Sakura membantu,” kata Tsunade. Minato terkejut, tapi seperjuta detik kemudian ia membalikkan tubuhnya dan pergi bersama yang lainnya, kecuali Sakura. Tsunade menghela nafas. “Kalian merayakan natal pukul 3 pagi?”
Yang ditanya tersenyum sambil mengikat rambut merah mudanya. “Ini permintaan Kushina”
Dan mereka pun melakukan proses persalinan calon ibu di depan mereka.
***
Salju masih turun, dan semakin deras *kayak ujan* Bumi terlihat begitu putih di luar sana. Terdengar suara pintu terbuka. Minato mendongak dan mendapati senyum cerah dari Sakura.
“Selamat! Dia sudah datang,” katanya sambil menyingkir dari pintu untuk membiarkan Minato masuk. Yang disebut belakangan melesat masuk. Dan betapa bahagianya, ketika dilihatnya Kushina tersenyum. Senyuman terindah yang pernah ia lihat selama 900 tahun keeksistensiannya.
***
“Imutnya,” kata Kiba.
“Ya, dia imur sekali,” timpal Sakura. Yang lain mengangguk setuju.
“Menurutku dia keren” semua mata memandang ke arah Naruto –kecuali si bayi. Yang dipandangi berusaha mempertahankan jawabannya. “Yah, rambutnya itu, loh! Hitam, dan matanya juga terkesan kuat. Sepertinya dia akan menjadi seseorang, eh, maksudku, vampir yang cukup berpengaruh nanti,” *jangan peduliin istilah anak imortal atau setengah vampir setengah manusia, di penpik ini yg begituan gak berlaku*
“Yah, aku setuju denganmu. Dia memang sangat keren,” kata Kushina.
Naruto berjalan mendekati Kushina yang sedang menggendong sesosok bayi berambut hitam. “Siapa namanya?”
Kushina dan Minato yang berdiri di belakangnya tersenyum dan menjawab bersamaan, “Sasuke,”
Naruto menunduk, mensejajarkan kepalanya dengan kepala bayi itu. “Nah, Sasuke, selamat datang di keluarga ini. Kau akan menjadi penggantiku sebagai ‘bocah’ termuda sekarang,” tepat saat Naruto mengatakan itu, dalam tidurnya, Sasuke tersenyum. Manis sekali. Sangat imut. Dan tanpa dosa.
***
17 tahun kemudian . . . .
“Sasuke! Teman-temanmu sudah menunggu!” bisik Kushina. Anaknya sedang ada di lantai 3, memakai seragam sekolah. Meskipun jarak dari lantai 1 dan lantai 3 cukup jauh, Sasuke bisa mendengar bisikan ibunya. Ia mempercepat gerakannya, dan dalam 2 detik, ia sudah sampai di dapur.
“Apa sarapan kita sekarang?” kata Sasuke. Ia tersenyum saat melihat omellete rice terhampar di sepanjang piring *kayak pantai aja* Ia memakan sarapannya dengan lahap. Atau lebih tepatnya rakus. Bayangkan, sepiring penuh omellete rice habis hanya dalam 3 detik! Sebenarnya lapar, doyan atau rakus sih? Atau tiga-tiganya?
“Cepatlah! Teman-temanmu menunggu,” kata Kushina.
Sasuke berdiri dan berjalan dengan langkah normal menuju depan rumah. Dari jendela dapur, Kushina bisa melihat aktivitas anaknya dengan teman-teman manusianya.
“Hai! Wah! Pangeran kita tetap tampan seperti biasa, ya!” kata Lee saat Sasuke berjalan menuju ke arah mereka. *krisis pemain* Sasuke hanya membalas dengan ‘hn’. Entah kenapa, jika berhadapan dengan manusia, bawaannya laper terus. Jadi, daripada ia membuka mulut lalu tidak sengaja menancapkan taring di leher teman-temannya, ia memilih tutup mulut. Lagipula, obrolan teman-temannya itu jarang ia perhatikan. Ia lebih sering menghabiskan waktu dengan membaca buku dibanding bersosialisasi dengan manusia-manusia. Kontras sekali dengan ‘kakaknya’. Si vampir kuning yang sangat sering tertawa bersama manusia.
Tentang ‘kakak’ pirangnya itu. Si vampir berisik itu sedang pergi keliling dunia, karena dia sudah ‘bebas’. Semacam, dewasa. Sudah 5 tahun, sejak ia terakhir kali melihatnya.
“Ah, Sasuke. Apa kau sudah mengerjakan pe-er Fisika?” tanya Tenten. Yang ditanya mengangguk seadanya, dan berjalan mendahului mereka.
“Yah, ditinggal deh,” kata Tenten.
***
Pukul setengah empat sore, Sasuke tiba di rumahnya. Dari pintu saja sudah terdengar suara-suara tawa riuh rendah. “Hh, dia datang,” katanya. Ia menarik gagang pintu, dan membuka pintu itu lebar-lebar. Di ruang tamu, ia bisa melihat suasana kekeluargaan yang terpancar sangat menyilaukan.
“Ah, Sasuke,” teriak Naruto. Ia melesat ke arah Sasuke dan memeluknya dengan kencang. “Apa kabarmu, adikku tersayang?” *aneh rasanya ngetik ini* Sasuke menggeliat, berusaha melepaskan diri dari cengkraman-maut ‘kakaknya’ itu.
“Lepas! Aku sudah bukan anak kecil lagi,” kata Sasuke. Akhirnya Naruto melepas pelukan ‘sayangnya’ sambil memanyunkan bibirnya. “Kalau aku bukan vampir, dari dulu aku sudah mati,” kata Sasuke. Ia mengatur nafasnya *emang vampir perlu nafas?*
“Cih! Ototou-ku sekarang sudah tidak menyayangiku lagi!” kata Naruto ngambek. Ia menggembungkan pipinya. Membuatnya terlihat sangat, em, kekanakan *umurnya udah ratusan lho*
Sasuke mengernyit. Mana mungkin ia tidak menyayangi Naruto lagi. *secara ini kan ff yaoi* “Tentu saja aku masih menyayangimu, Aniki,” ‘aku heran siapa yang anak kecil di sini’ batin Sasuke.
Naruto tetap ngambek. Ia berjalan ke arah Kushina dan duduk di sofa sebelah Minato dengan ‘tenang’. Sasuke memberi tatapan aku-harus-melakukan-apa ke arah ibunya, tapi yang ditanya hanya mengangkat bahu.
“Sudahlah. Sekarang Sasuke sudah datang. Ayo kita masuk ke dalam. Aku akan menyiapkan makan malam,” kata Kushina. Naruto mengikuti Kushina ke dalam, diikuti Minato. Sasuke masih diam berdiri dan berpikir ‘apa menolak pelukan melanggar hukum?’
***
Malamnya, makan malam berjalan dengan lancar, mulus tanpa hambatan *kayak jalan tol*
Mereka makan malam dengan tenang. Apa menu makanannya? Cuma Tuhan yang tahu. Setelah makan malam, seperti biasa, mereka duduk-duduk di sofa ruang keluarga, ngobrol-ngobrol. Entah darimana, tiba-tiba perbincangan itu menuju ke arah hal-hal yang menjurus. Eits, jangan ngeres dulu! Maksudnya, menjurus ke arah, eum, agak pribadi.
Perbincangan masalah vampir.
Yah, tentu saja. Mereka tidak mungkin memperbincangkan mengenai masalah manusia, ‘kan? Kan mereka vampir. Ya ngomongin masalah vampir dong! Dan, seperti layaknya manusia, umur tujuh belas tahun adalah umur di mana kedewasaan seseorang sedang dipertanyakan. Maka, dimulailah perbincangan antar orang-tua-anak (plus ‘kakak’) itu.
“Sasuke, sekarang umurmu sudah 17 tahun. Kau tahu apa artinya itu?” kata Kushina.
Sasuke, dengan tampang stoic, menjawab (dengan nada datar), “Aku sudah dewasa,”
Baik Kushina maupun Minato tersenyum tulus. Mereka berdua saling berpandangan, sedang sang ‘kakak’ yang duduk di sebelah Sasuke hanya bisa tersenyum lebar seperti biasa. Tapi entah kenapa, Sasuke merasa ada yang sedikit berbeda pada senyuman ‘kakak’nya itu. Ada yang ditutupinya.
“Sasuke,” panggil Minato. Sasuke mengalihkan pandangannya yang sedari tadi memperhatikan ‘kakak’ pirang di sebelahnya itu. Merasa sudah diperhatikan, Minato melanjutkan, “Kaum kita, kaum vampir, adalah makhluk-makhluk imortal. Tidak seperti manusia yang bisa mati, umur kita jauh lebih panjang dibanding manusia. Bagi kaum manusia, umur 17 tahun adalah saat di mana seseorang sudah bisa dianggap dewasa. Itu karena umur mereka terbatas. Pada batas tertentu, mereka harus menikah dan, kau tahu, punya keturunan. Mereka tahu mereka memiliki batas kehidupan, sehingga mereka harus mempertahankan kaum mereka dari kepunahan.
“Tapi vampir tidak sama. Kita bisa hidup ratusan tahun, bahkan ribuan tahun. Kita tidak harus merasa terburu-buru seperti manusia. Kita memiliki waktu lebih dari cukup untuk itu. Jadi, kau belum dianggap dewasa meski umurmu sudah 17 tahun. Karena...” Minato memandang Kushina sebentar, lalu memandang Naruto, seolah meminta persetujuan. Karena kedua sosok itu mengangguk, Minato dengan yakin melanjutkan. “Vampir dianggap dewasa jika sudah jatuh cinta,”
***
Sasuke duduk di kursi belajarnya, sedang berkutat dengan rumus-rumus integral yang harus dia kuasai untuk ulangan besok pagi. Tidak seperti biasanya, kali ini dia harus membaca tiga-empat kali, sebelum akhirnya mengerti apa yang sedang ia baca. Biasanya, hanya perlu sekali baca, dan ia sudah memahami apapun itu di luar kepala. Ia juga tidak harus berkonsentrasi penuh, tapi sekarang, malam ini, ia harus berkonsentrasi penuh untuk mengartikan dengan benar c kuadrat sama dengan b kuadrat tambah a kuadrat.
Mengerang frustasi. Itulah yang dilakukannya sekarang. Kepalanya terasa penat. Entah karena rumus-rumus integral yang tak kunjung bisa dikuasainya, atau mungkin karena ucapan orangtuanya sehabis makan malam tadi.
“Vampir dianggap dewasa jika sudah jatuh cinta,”
Kesal. Sasuke memilih tiduran telentang di tempat tidurnya, berusaha menjenihkan pikirannya. Jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, dan dia sama sekali belum menghabiskan setengah dari bahan ujiannya besok. Seperempat pun belum. Padahal ia sudah masuk kamar sejak pukul setengah sembilan malam.
“Semua anggota keluarga kita sudah dewasa. Kecuali kau, tentu saja,”
‘Cih, siapa peduli dengan kedewasaan?’ batinnya kesal. Ia menendang bantal guling di kakinya, hingga terlempar ke pintu. Ternyata, bantal itu hampir mengenai seseorang.
“Mau cari udara segar?”
“Eh? Aniki?” kata Sasuke. Ia merubah posisinya menjadi duduk di atas tempat tidur. Naruto tersenyum, lalu sambil berjalan ke dalam kamar Sasuke, ia melempar bantal itu ke arah sang empunya.
“Mau cari udara segar?” ulangnya. Sasuke memandang Naruto sedetik, sebelum mengangguk.
Sudut bibir Naruto tertarik sedikit, membentuk seulas senyuman singkat. “Mau lewat jalan pintas atau yang menghabiskan waktu?”
Sasuke menyeringai, dan menjawab pasti, “Jalan pintas. Waktuku terlalu berharga untuk dihambur-hamburkan,”
Dan mereka pun melompat keluar melalui jendela kamar Sasuke di lantai 3, menuju langit malam yang kelam.
***
Mereka berdua berhenti di sebuah atap gedung pencakar langit. Sasuke bersandar di pagar atap, memandang ke arah kerlip lampu kota di bawahnya. Sedangkan Naruto berbaring di lantai, memandangi bulan.
Tidak ada sepatah kata yang terucap. Hanya ada kebisuan, dengan angin malam yang berhembus, membawa aura dingin. Hal yang tidak mereka rasakan. Keheningan ini –bagi mereka berdua- sangatlah nyaman. Seolah ini adalah cara mereka berkomunikasi. Bagi mereka pun, keheningan dan kebisuan memiliki nada tersendiri.
Mungkin terkesan aneh. Naruto yang biasanya banyak bicara, menjadi diam membisu. Tapi, toh, sekarang ia sedang berhadapan dengan Sasuke, ‘adik’nya yang stoic luar biasa. Entah dari mana ia mendapat sifat seperti itu. Bahkan Gaara tidak sestoic itu –jika berhadapan dengan Naruto-
Dan Sasuke tentu saja bukan tipikal vampir yang banyak bicara, apapun kondisinya. Dan lagi, sunyi seperti ini menenangkannya. Menenangkan sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Sesuatu yang panas, yang ingin menyeruak ke permukaan. Entah apa namanya, dia tidak –belum- tahu.
Mereka berdua tidak saling memandang. Obyek padangan mereka berbeda, dan pikiran mereka pun melayang dengan tujuan berbeda. Tapi meski begitu, baik Naruto maupun Sasuke tahu apapun, sekecil apapun gerakan yang dilakukan oleh vampir di sebelah mereka. Meski Naruto hanya meniup kecil angin yang lewat, Sasuke tahu itu. Bahkan, Sasuke yang menggerak-gerakkan jarinya di udara kosong diketahui oleh Naruto. Mereka tidak melakukan kontak apapun, tapi mereka punya ikatan yang cukup kuat untuk mengetahui bahwa masing-masing diri mereka sedang gundah. Penat.
.
Terkadang, nyanyian bisu yang amat merdu pun bisa membuat kita bosan. Benar, ‘kan? Karena nyanyian bisu itu hanya menenangkan, tanpa memberitahu apa yang sedang kita cemaskan. Tanpa memberi bukti bahwa pada sesuatu yang kita letakkan harapan itu tidak sia-sia.
Nyanyian bisu hanya menghibur kita di permukaan, tanpa menolong kita mencari sebuah jawaban.
Dan untuk itulah, pertama kalinya dalam keeksistensiannya, Sasuke memulai sebuah pembicaraan. Ringan.
“Dewasa itu seperti apa?”
Naruto memejamkan matanya. Ia tidak terlalu berharap Sasuke yang memulai bahasan ini, tapi toh itu tujuannya. “Menjalani hidup dengan tambahan kebebasan,”
“Bebas,” ulang Sasuke.
Dilatar belakangi hembusan angin, Naruto mengubah posisinya. Ia berdiri, bersandar di pagar atap, di sebelah Sasuke. “Kau diberikan kebebasan karena sudah mampu mencintai,”
Sasuke mengernyit. Tidak mengerti.
“Kau tahu? Vampir itu begitu dingin. Dan perasaan cinta, kasih sayang, adalah sesuatu yang hangat. Jika perasaan itu sudah masuk dalam hatimu, kau sudah bertumbuh,”
“Apa itu termasuk, ehm, bebas mencintai siapa saja?”
Naruto memalingkan wajahnya ke arah Sasuke, yang sudah lebih dulu memandanginya dari sudut matanya. “Kebebasan itu kita dapat setelah kita bisa merasakan cinta,”
“Hn,” hanya gumamam kecil kekecewaan.
Naruto tertawa kecil, membuat Sasuke mengernyit lagi. “Kau tahu? Kesamaan kita dengan manusia adalah, kita tidak bisa memilih pada siapa kita jatuh cinta. Kalau sudah jatuh, pasrah saja,”
Sasuke mendengar tawa ringkih dari sosok di sebelahnya. “Aniki,” panggilnya. Naruto menoleh, berhenti tertawa. “Siapa pacar Aniki sekarang?” tanyanya. Polos. Terdengar sekedar ingin tahu. Tapi perasaan tadi makin panas. Semakin ganas ingin keluar. Sesuatu di dalam dirinya semakin ingin menyeruak keluar. Bebas.
Naruto memandang lampu-lampu kota di bawahnya, memandang ke kejauhan, sampai batas pandangannya.
“Belum satupun ada sosok yang bisa jadi pacarku,”
Sasuke menoleh. Tepat saat Naruto menoleh ke arahnya. “Aku dianggap dewasa hanya karena kau lahir, Sasuke. Dan karena itu juga aku jatuh cinta....”
.
“......padamu,”
Bebas.
Sesuatu yang bergejolak di dalam tubuhnya bergemuruh, menghancurkan lapisan tebal dirinya yang tertutup. Sasuke sekarang remuk, tanpa pertahanan. Ada perasaan menghentak di dalam dirinya. Jauh di lubuk hatinya, timbul perasaan hangat. Bukan rasa panas tadi. Panas itu terasa hilang, dan berubah menjadi hangat. Nyaman sekali.
“Aniki...” panggil Sasuke. Matanya tertutup bayangan rambutnya. Naruto memandangnya lekat. “..sekarang aku tahu bagaimana rasanya menjadi dewasa,”
Naruto mengernyit, tidak mengerti. Tapi, tidak ada waktu baginya untuk berpikir sekarang.
Sasuke menghambur memeluk Naruto, yang tentu saja, membalas pelukannya, meski agak kaget. Saking eratnya pelukan mereka, tubuh mereka oleng, dan dua sosok itu jatuh dari lantai 31.
Tapi apa sih peduli mereka? Toh mereka vampir. Jatuh pun tidak akan membuat mereka luka.
“Hei, hei. Kau tidak perlu buru-buru. Masih ada waktu ribuan tahun lagi, ‘kan?” kata Naruto. Sasuke tidak peduli. Dalam posisi jatuh begitu pun, ia tetap mempererat pelukannya, membenamkan kepalanya di leher ‘kakak’nya itu.
Aku tidak peduli. Yang jelas, sekarang si bocah ini sudah jatuh cinta.
***
FIN

A/N : betapa pendek dan gajenya penpik saia nie. Ni Cuma penpik hasil ide pas sembahyang. God! Sembahyang tapi kepikiran yaoi? D**n it! Yah, begitulah. Endingnya rada maxa sih. Tapi yang penting jadi *ditendang, ditampol, digampar*
[1] Sebenernya najis bilang Sai tampan (maaf buat Sai-fans) tapi saiia suka bunuh Sai *geplaked*
Oh ya. Klarifikasi, nih. Masalah warning itu. Kan saiia bilang ini mengandung yaoi, incest dan pedo. Nah, bagi yang nggak ngeh, nih, saiia jelasin *bergaya ala Oemar Bakrie*
(1) Pedo : maksudnya pedophilia. Yang saiia tahu, cewek yg suka cowok yang lebih muda namanya Shotakon. Kalo cowo suka sama cewe yg jauh lebih muda namanya Lolikon. Saiia bingung. Cowok yang suka cowok yang jauh lebih muda namanya apa? Ya udah, pedo aja! Secara, beda umur mereka 400 tahun. Wuuu~
(2) Incest : biar saiia terangkan agar jelas. Gini, di fic gajebo ini, Minato tuh nikah sama Kushina. Dan anak mereka adalah Sasuke. Sebodo amat ama cerita asli kalo anak mereka tuh Naruto. Ini kan penpik~ jadi, Naruto adalah adeknya Kushina, berarti Sasu adalah keponakannya Naruto. Karena ngerasa nggak enak kalo Sasu manggil-manggil Naru pake ‘paman’, bikin aja panggilan mereka jadi ‘kakak-adik’ Hehehe. Toh beda umur mereka Cuma 400 tahun *dirasenrengan + chidori nagashi*
(3) Yaoi : kalo nggak ngeh sama yg ni, terlalu~ *ala Roma Irama* secara, mereka pelukan kaya gitu! Secara pairnya aja udah Narusasu, ya pasti yaoi dong! Iya kan? Saiia emang nggak ngebikin secara detail, dan nggak bikin mereka saling bilang aishiteru, tapi, puh lis deh, emangnya penting banget ya? Toh, seperti kata Naru, nggak usah buru-buru. Biarin aja berjalan~ nggak perlu ungkapan yang secepat kilat getho~ ya kan? Setuju ‘kan? Harus! *maksa* *nodong pake bedil*
Nah~ segitu aja deh~ saiia mau tidur~ udah jam 00.44~ takutnya besok ngantuk pas jalan santai~ Eehehehe
Mata ashita
~ casiie-HAIKU ~

fanfic cantarella

Saia benci Lucrezia. Banget. Makanya, saiia pengen bikin fic yang bertema ‘how to kill her’. Oh ya, ‘how to kill that f**king-witch’. Pokoknya saiia benci dia. Begitulah. Karena kalau bukan karena Lucrezia, mereka pasti bakal tetep bersama. Apapun yang terjadi, seperti apa yang Cesare minta di buku 3.

X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
The bells
.
Pair : Cesare B. X Chiaro {Michelot}
Genre : romance/hurt
Rate : K
Warning : ada yaoi-nya. Sekarang saya bikin one-sided, tapi fic mendatang saia pasti bikin mereka bersatu.
Don’t like, don’t read.
Silakan klik back sebelum merasa ingin ngeflame. Toh, Anda nggak jadi dosa karena nggak ngeflame, saiia pun nggak bakal nyumpahin kalian *ketauan bejadnya*
Summary : based on the 7th book, first cantarella fic which wrote in Indonesian. Dalam BAHASA INDONESIA!
Cerita saat Cesare datang ke biara Lucrezia dan menemukan Chiaro di sana. Ugh
“speak”
‘Chiaro’s mind’
Cesare’s mind
.
Hope you all have an enjoy read
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Teng ... teng .... teng ....
Suara lonceng terdengar nyaring. Lonceng itu berada di sebuah menara kecil, di atas sebuah biara kecil yang berada agak jauh dari pusat kota Roma. Biara tempat di mana Lucrezia berada, mengasingkan diri.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
“Bagaimana? Sudah ketemu?” tanya seorang biarawati.
“Aneh, deh. Di kapel juga tidak ada,” kata biarawati satunya. “Pergi ke mana, ya, pada saat-saat begini?” lanjutnya.
Seorang biarawati tidak angkat bicara, dia hanya berjalan mengikuti dua biarawati lainnya dengan ekspresi bingung.
Sambil berjalan berkeliling, ketiga biarawati itu terus memanggil-manggil.
“Nona Lucrezia! Nona Lucrezia!”
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Sinar matahari masuk melewati jendela-jendela biara. Cahaya matahari itu menerangi hampir setengah dari bangunan biara yang berada di daerah pedalaman itu.
Tampak di depan altar, seorang pria berdiri menghadap ke arah salib di dinding. Lambang Yesus.
Pria itu menggunakan pakaian serba putih. Rambut hitamnya dikuncir ke belakang, memberi kesan rapi. Posisi berdirinya layaknya seseorang yang seolah ingin berdoa, tapi pria itu sebenarnya hanya berdiri diam, memandangi altar di depannya.
Dari arah pintu masuk, seorang biarawati senior melangkah memasuki ruang biara itu. Ia tampak agak menyesal. Ada juga ekspresi bingung dan bersalah dalam raut wajahnya.
“Maaf. Sekarang kami masih mencarinya. Mohon Tuan menunggu sebentar,” kata sang biarawati pada pria itu.
Pria itu berbalik. Wajahnya yang tampan terbingkai hitam rambutnya tersenyum kecil. Lembut.
“Maaf, ya, aku datang tiba-tiba,” kata pria itu.
Si biarawati senior itu malah merasa tidak enak dengan kerendah-hatian pria itu. Ia berujar, “Ah, tidak. Tidak apa-apa. Kardinal sendiri sampai berkenan datang ke tempat ini....” ucapannya terpotong saat ia menyadari ada beberapa biarawati muda yang mengintip dari pintu untuk menguping percaapan mereka. Atau, untuk melihat siapa pria itu. “Hush! Hush! Eh, pergi sana! Tidak sopan, ya,” katanya pada biarawati-biarawati yang sedang mengintip itu.
Dengan patuh, mereka pergi.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Terdengar teriakan-teriakan memanggil dari halaman. Mereka sepertinya mencari-cari Lucrezia. Sedangkan biarawati-biarawati tadi-yang mengitip dari balik pintu-malah enak-enakan ngobrol.
“Eh, kamu lihat tadi? Tuan Cesare!”
“Iya. Dia Kardinal Valentino, kan?”
“Aku dengar, sih, gosipnya. Cakepnya bukan main, ya?”
“Jangan bicara yang tidak-tidak. Kita harus mencari nona Lucrezia!”
Samar-samar Cesare bisa mendengar kata-kata mereka. Tapi ia tidak peduli pada apa yang mereka ucapkan. Yang penting sekarang, ia harus segera bertemu Lucrezia. Bukan, bukan karena ia merindukannya. Ada hal lain yang harus ia beritahukan pada adik perempuannya itu. Lagipula, ada orang lain yang ia rindukan. Laki-laki lain.
Tak..
Cesare menoleh. Seorang pria paruh baya berjanggut menghampirinya.
“Oh, ini Kardinal Valentino. Ada apa, ya, seorang kardinal sampai datang ke tempat ini sendirian? Padahal, kalau ada apa-apa yang mendadak, kan Tuan bisa menitipkan pesan pada saya,”
“Kamu itu, kalau tidak salah bawahan Paus... yang namany Il Perotto, ya?”
Pria berjanggut itu membungkuk kecil. “Suatu kehormatan bagi saya kalau Tuan ingat,” ia tersenyum licik. Cesare menangkap gelagat itu, tapi tidak menunjukkan ekspresi apapun. “Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada Tuan,”
“Ohh,” Cesare hanya menatap pria itu tanpa ekspresi.
“Sebenarnya .....” dan pria bernama Il Perotto itu pun memberitahukan apa yang ia ketahui.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
“Nah, aku pergi dulu,” kata Chiaro.
Ia mencium (cassie-HAIKU : ueeekk) Lucrezia.
“Chiaro, cepat! Di luar sepertinya lagi ribut-ribut,” kata Pantasilia.
Chiaro melepaskan ciumannya. “Chiaro ...” bisik Lucezia.
“Sudah kubilang jangan berwajah seperti itu,” kata Chiaro saat melihat ekspresi Lucrezia yang tidak ingin ditinggalkan.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Kenapa, ya, dadaku tertekan? Rasanya begitu sesak...
Cesare berjalan. Tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanannya yang telah berubah menjadi seperti tangan iblis.
Makin dekat, gejolak di dada ini semakin hebat. Perasaan ini ....
Ia semakin dekat dengan gubuk itu. Gubuk itu berada tidak jauh dari sebuah pohon ek, dengan semak-semak yang mengelilingi dindingnya.
Alunan perasaan yang rasanya nyaman dan tersasa sagat akrab ini ...
Dia memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing.
Semakin mendekti gubuk yang dikatakan laki-laki itu, aku menjadi yakin sekali dan pikiranku menjadi sangat jelas.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Sementara itu, di dalam gubuk itu...
“Kalau kamu ingin menemuiku, aku akan pergi sampai ke manapun juga,” kata Chiaro. Ia melangkah meninggalkan gubuk itu. Tapi ternyata (cassie-HAIKU : SEBEEL!!!!) Lucrezia berlari ke arahnya, dan memeluknya.
“Lucrezia...”
Lucrezia menggeleng. “Kumohon, Chiaro. Bawalah aku....” (cassie-HAIKU : emangnya tas?!)
Pikiranku menjadi sangat jelas...
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Mata Lucrezia membulat. Sosok itu muncul dari balik pintu. Bahkan Pantasilia pun terlihat ketakutan. Takut padanya. Dan entah sejak kapan, Lucrezia berdiri di belakang Chiaro.
Sosok yang begitu tampan. Kulitnya bagaikan porselen, dengan wajah yang dibingkai rambut hitam. Rambutnya yang cukup panjang itu tidak tergerai seperti biasanya. Seperti saat Chiaro masih bersamanya. [1]
Kardinal Cesare Borgia.
Ekspresi kaget terpeta jelas di wajah Chiaro. Berbeda dengan Lucrezia, yang entah kenapa merasa takut –juga kaget, tentu saja.
“Ka..kak,”
Cesare menatap mereka dengan pandangan tajam, menusuk. Pandangan yang sekaligus mengutarakan kebencian, kemarahan. Dan kekecewaan.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Lucrezia?” Mata Cesare tak terlihat, karena tertutup oleh sedikit rambutnya depannya yang tidak terikat.
“Kakak... aku!” ucapan Lucrezia dipotong Cesare.
“Pantasilia, nanti saja kutanya penjelasannya. Kamu siapkan saja barang-barang Lucrezia,”
“I..iya,” kata Pantasilia.
Cesare melanjutkan. “Dalam rangka pembatalan pernikahanmu dengan Giovanni Sforza secara resmi, maka pengambilan sumpahmu harus dilakukan di depan para utusan dari setiap negara. Calon suami yang berikutnya sudah ditetapkan. Karena itu, pengambilan sumpahnya harus dilakukan secepat mungkin,”
Mendengar itu, Lucrezia merasa dunianya runtuh (cassie-HAIKU : RASAIN!!!!)
“Calon..berikutnya..sudah??” kata Lucrezia terbata-bata.
Sambil menutup mata, Cesare berkata, “Sepertinya kamu agak manja,”
“Orang ini... “ Lucrezia memandang Chiaro. “Chiaro tidak bersalah! Aku ...” lagi-lagi, ucapannya terpotong (cassie-HAIKU : kenapa gak nyawa loe aja yang terpotong, sih?! *MURKA*)
“Pantasilia, bawa Lucrezia!” perintah Cesare.
Pantasilia, meski dengan berat hati, memaksa Lucrezia keluar dari gubuk itu.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
“Jelaskan apa maksudmu!”
“Sekarang aku sedang bingung kenapa kamu ada di sini, Chiaro?”
Chiaro menatap Cesare sedetik, sebelum menjawab, “Setelah kejadian itu, karena melarikan diri dari orang-orang yang mengejarku aku ... lari ke sini. Karena mengalami luka parah dan dalam kondisi setengah tak sadar, aku tidak tahu kalau ini biara tempat Lucrezia,”
“Luka parah?!” Cesare kaget mendengar hal itu.
“Aah, saat itu Juan hanya tak sadarkan diri. Lalu, dia menyerangku dengan segenap tenaganya,” Chiaro terdiam sebentar. “Hanya ini yang harus kukatakan padamu terlebih dahulu ... Kamu sama sekali tidak perlu merasa tersiksa karena kematiannya,”
Cesare mendengus pelan. Aku justru tersiksa karena kau tidak ada, baka. Mungkin seperti itulah seorang raja. Apa yang diperlihatkannya mungkin saja berbeda dengan perasaan sesungguhnya. Cesare tertawa.
“Cesare?” tanya Chiaro, tidak mengerti.
“Sampai saat ini, kamu masih benar-benar dirimu, ya?” Cesare memandang ke arah Chiaro. Seperjuta detik, matanya menampakkan ekspresi lembut, kerinduan yang dalam. “Perasaan tersiksa? Hal seperti itu, sih, sejak dilahirkan aku tidak punya, tuh,” Ia memberikan pandangan merendahkan. “Tak ada gunanya repot-repot,”
“Begitu, ya?” kata Chiaro. Ekspresinya miris, seolah merasakan kepedihan yang bahkan tidak ia mengerti. ‘Entah kenapa, aku merasa sesak’
Cesare tahu ekspresi itu. Tapi, ia tidak bisa menunggu. Ia harus tahu apa yang terjadi selama Chiaro tidak bersamanya. Selama Chiaro menghilang. “Lanjutkan!”
“Tubuhku terasa melayang. Ah, waktu itu, kupikir apa ini yang namanya mati? Saat itu, aku benar-benar sudah bersiap-siap. Waktu itu, yang menyelamatkanku Lucrezia. Dengan gerakan tangan tidak biasa, dia berusaha sekuat tenaga merawatku,” Chiaro tersenyum. “Dia itu..seperti malaikat ya?” [2]
“Karena itu, kamu tertarik padanya?” kata Cesare, lemah. Benar-benar sebuah epik dari jeritan hati.
Alis Chiaro menaut satu sama lain, menandakan ia merasa kesal. “Lucrezia menangis karena menyukaimu. Dia menderita karena mencintaimu. Merasa sesak karena siksaan yang bagaikan neraka tak berujung. Kamu juga pasti tahu, kalau dia..”
Cesare mengangkat tangak kirinya, menghentikan semua ucapan Chiaro. Kau tahu bagaimana tersiksanya dia tapi kau tidak tahu bagaimana tersiksanya aku karenamu!
“Kenapa ? Apa kamu bisa melakukannya? Aku... ingin menghiburnya. Aku..menyukai Lucrezia. Seandainya aku bisa membuat perasaannya sedikit lebih enak. Karena itu, aku memeluknya. Untuk membuatnya melupakanmu! Aku tidak akan membela diri. Kalau kamu ingin menghukumku, akan kuterima,” kata Chiaro. Ekspresinya serius.
Hening.
“Apa kamu..mencintai...Lucrezia?” tanya Cesare. Mungkin faktor tidak-ingin-tahu-jawabanmu membuat suara terputus-putus. Atau karena menanyakan itu sama dengan bunuh diri?
Hening.
Di antara hembusan angin yang menerbangkan dedaunan, Chiaro menjawab, “Aku mencintainya,”
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Cesare memandang Chiaro. “Kebaikan hatimu itu terkadang alat pembunuh yang paling berbahaya,” yakinnya, lebih pada dirinya sendiri. “Kamu itu memeluk Lucrezia karena perasaan simpati!” nada suaranya naik satu oktaf.
“Bukan!” Chiaro membantah. Keras.
“Apa kamu yakin?!” balas Cesare.
Chiaro terdiam. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya.
“Fuh! Kalau begini jadinya, coba waktu itu aku memeluknya seperti apa yang dia inginkan, ya? Dengan begitu...” kata-kata Cesare menggantung. Ia berdiri tegak, menatap lurus ke dalam mata Chiaro.
“Cesare, apa yang yang akan kau ....” dan pertanyaan Chiaro itu tak akan pernah ia lanjutkan.
Cesare mendorongnya ke dinding. Dalam kekagetannya, Chiaro tidak bisa berbuat banyak. Tangan kiri Cesare menahan tangan kanannya, dan tubuh Cesae sendiri yang menahan tubuhnya.
Cesare menciumnya. [3]
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Dalam. Menuntut.
Sayangnya, ciuman itu hanya berlangsung singkat.
“Jangan melawan!” sembur Cesare. Ia berusaha menahan tubuh Chiaro agar tetap merapat ke dinding. Tapi pria pirang itu melawan dan sedikit meronta.
“Apa yang kamu lakukan?! Jangan bercanda..” Protes Chiaro terpotong, karena Cesare sudah membungkamnya lagi dengan ciuman. “Mm... uhh...”
‘Sial! Apa yang dia lakukan?! Bagaimana mungkin dia bisa bercanda dalam keadaan seperti ini? Apa ini...tidak mungkin! Jangan melawan?! Atau ini..dia sedang menghukumku? Apa ini hukumannya untukku? Tapi kenapa begini? Kenapa..’
Bahkan inner-nya pun terpotong, saat sadar lidah Cesare mendorong-dorong bibirnya, membuat celah agar bisa masuk. ‘Sial!’
Lidah Cesare berhasil masuk ke dalam mulut Chiaro, dan bermain-main di sana. “UNGH!!”
‘HENTIKAN!’ batin Chiaro. [4]
DUKK....
Sebelum lebih jauh lagi, Chiaro memukul Cesare, menghentikan ciuman (panas) mereka dan menyelamatkan rating fic ini untuk tetap K. Kalo lebih lanjut, author gak bakal kuat nulisin lemonnya!!!
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
“Apa sih?! Jangan bercanda di saat-saat seperti ini, dong!” kata Chiaro. Jarak mereka sudah tidak seintim tadi, karena Cesare yang agak terhuyung akibat pukulan telak Chiaro.
“Benar sekali, kenapa?!” Cesare menyangga kepalanya dengan tangan kanannya, bagian tubuhnya yang telah termakan iblis. Ia berpikir keras, merasa bingung dan lemah sekaligus. Benar-benar tanpa pertahanan.
“?! Kenapa ... tanganmu itu? Apa lebih parah dari yang dulu? Coba lihat!” Chiaro berusaha menyentuh tangan Cesare, tape segera ditepis.
“Jangan sentuh aku!” suara Cesare bergetar. “Aku saja tidak tahu...kenapa kamu? Kenapa harus kamu?!” ia memeluk dirinya sendiri.
Dalam keterkejutannya, Chiaro hanya bisa diam. Apalagi, saat Cesare mengangkat wajahnya, ada bulir-bulir air mata yang mengalir di pipinya.
Cesare berbalik, menghapus air mata di wajahnya. Setelah beberapa detik, ia berhasil mengembalikan suaranya pada nada yang sesuai.
“Kamu tahu posisimu, kan? Kamu telah menculik putri paus. Perkaranya tidak akan berakhir begitu saja. Meskipun aku tidak melaporkannya langsung, sebentar lagi juga akan kedengaran oleh paus. Sebelum kamu dikejar-kejar...”
Baik Chiaro maupun Cesare tahu kata apa yang menggantung itu. Dan both of them, tidak ingin mendengarnya.
“...pergilah, tinggalkan Roma!”
“!?”
“Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!”
Dan dengan itu, sang Kardinal pergi meninggalkan gubuk itu.
“Cesare!”
‘Percuma. Kau telah menghancurkannya. Kau telah mengkhianatinya. Kau memang bodoh, Chiaro!’
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Teng .... teng .....
Lonceng itu berbunyi lagi.
Sebagi pertanda apa?
Apakah menunjukkan dua hati yang terluka? Atau hanya menyemarakkan suasana senja di antara hati yang kesepian?
.
.
.
.
FIN ??

a/n : [1] bener deh, coba baca Cantarella dari buku satu ampe buku 10, buktiin, pasti deh, Cesare mulai mengikat rambutnya sejak Chiaro nggak berada di sisinya.
[2] malaikat yang datang untuk menghancurkan sesosok malaikat lain, yang bahkan sudah hancur sejak takdirnya ditentukan. Saiia akui Lucrezia nggak jelek. Tapi bukan berarti dia cakep. Bukan berarti dia good looking juga. Buktinya saiia ngerasa pengen muntah liat dia *karena adanya dendam kesumat pribadi*
[3] Saya paling suka adegan itu !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
[4] kenapa Chiaro minta berhenti?! Bukannya dia sendiri yang bilang bakal nerima hukuman kaya apapun dari Cesare? Kalo gitu, itulah (sweet) punishment dari Tuannya itu. Dasar! Padahal lagi panas-panasnya tuh!
BTW, saiia nggak peduli sama Lucrezia fans. Yang jelas, saiia dengan keras, lantang dan jelas mendeklarasikan kalau saiia, cassie-HAIKU, salah satu author di FFN adalah Lucrezia-hater. Bagi yang merasa tersinggung, silakan lewat review, atau PM. Atau lewat email saia juga bisa, di raitodess@ymail.com. Oh, atau lewat blog saia, di fuzylazydizzy.blogspot.com. silakan. Hanya saja saiia ga punya fb. Hehe. Tambahan, saia juga SakuraHaruno-hater (tapi nggak selalu, tergantung gimana kelakuannya)
.
Salam damai,
cassie-HAIKU

fanfic DeathNote

Hm....
Saiia lagi ingin bergajeness ria....
Jadina.... *sok imut* akyu pengenna bikin cecuatu yang agak aucis....
Yah, entah kenapa ini jadinya autis gak jelas. Btw, ini humor, kok! Gak serius. Cuma ya, agak serius dikit di sedikit bagian. Keseriusan dalam fic saiia hanyalah figuran (??)
No pairing, sorry. Ini klop Cuma L dan hasil tesnya. Positifkah? Oh! L hamil? Anak siapa? *ngaco*
Nyahaha.. sarap saiia kumat. So, let’s go! *hiking kalee*
Yah, have a nice reading ya!!
-o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o-
Test result
Chara : L Lawliet
Genre : Humor/Gaje
Rate : tenang~ ini bukan TTM, alias awal-awal T naik jadi M~ Rate fic ini pure T [teen] alias 13+ *setahu saiia 13- dilarang baca fic deh*
Warning : gaje. Pendek, nggak penting, tidak menerima api *di kamus flame artinya api lho~* OOC
Disclaimer : © Takeshi Obata and Tsugumi Ohba, yang mencipta karya luar biasa nan mempesona
Summary : L mengikuti sebuah tes psikologi. Tes ini menunjukkan bagaimana keadaan psikologisnya, dan juga memberikan hasil mengenai IQ dan EQ-nya. Bagaimana hasilnya? Benarkah IQ Sang L melebihi 200?
-o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o-
.
L baru saja akan memasukkan sebuah donat berukuran jumbo ke dalam rongga mulutnya saat Watari datang membawa sepucuk surat. Surat itu dilapisi amplop coklat, tipis. Watari menyerahkannya pada L, lalu pergi entah ke mana.
L mengambil surat itu dengan dua jari tangan kirinya –telunjuk dan ibu jari- sementara jemari tangannya yang lain sibuk memasukkan donat ke dalam mulutnya.
“Apa itu, Ryuuzaki?” tanya Light. Ia baru saja masuk ke dalam markas. Well, settingnya adalah saat Light kehilangan ingatan. Hehe~
“Surat, Light-kun,”
“Aku tahu. Maksudku-”
“Di dalam surat ini tertera hasil tes psikologiku,”
Light hanya ber’ohh’ria, lalu duduk di kursi sebelah L. L memandang Light, lalu membuka bagian atas amplopnya. Ia mengeluarkan secarik kertas tipis, yang terlipat menjadi 4 bagian.
“Bagaimana isinya, Ryuuzaki?”
L hampir membuka mulutnya, sampai ia melihat sebuah kata dalam kotak yang ada di pojok kanan atas kertas itu.
RAHASIA
Sebentuk kata itu menanggalkan kata yang hendak dibuat L, dan sebagai gantinya, ia meminta Light keluar ruangan. “Sebentar saja, Light-kun. Saya perlu sedikit waktu untuk sendiri,”
Meski penasaran, Light mau juga keluar dari ruang markas itu.
Memastikan Light telah keluar, dan hanya dirinya dengan sepucuk surat itu, L membaca hasil tes psikologinya.

HASIL PEMERIKSAAN DATA PSIKOLOGI
Nama : Ryuuzaki
Tanggal pemeriksaan : 2 hari sebelum hari kematian L di komik DeathNote
Kecerdasan
1 Intelegensi/IQ : Genius (206)
Bakat
2 Bakat dalam bidang angka : Tinggi sekali (97)
3 Bakat berpikir abstrak : Tinggi sekali (97)
4 Bakat dalam bahasa dan tata bahasa : Tinggi (80)
5 Bakat dalam relasi ruang : Tinggi (80)
6 Bakat dalam teknik mekanik : Tinggi (79)
Kepribadian
7 Motivasi berprestasi : Tinggi sekali (95)
8 Mentaati aturan dan disiplin : Tinggi sekali (97)
9 Bekerja secara teratur : Rendah sekali (5)
10 Menonjol dan unggul diri : Tinggi sekali (96)
11 Mandiri, tanggung jawab : Tinggi sekali (80)
12 Bekerja sama dengan orang lain : Sedang (53)
13 Melibatkan diri dengan orang lain : Rendah sekali (1)
14 Mendapat bantuan orang lain : Rendah (25)
15 Menguasai teman dan orang lain : Tinggi sekali (81)
16 Kebiasaan mengalah : Rendah sekali (0)
17 Menyenangkan orang lain : Rendah sekali (16)
18 Mengadakan perubahan : Tinggi sekali (95)
19 Tahan menghadapi dan mengatasi rintangan : Tinggi sekali (85)
20 Hubungan dengan lawan jenis : Rendah sekali (1)
21 Menyerang pendapat orang lain : Tinggi sekali (93)
Minat khusus
22 Minat outdoor : Sedang (45)
23 Minat scientific : Tinggi sekali (96)
24 Minat artistic : Rendah (40)
25 Minat literary : Tinggi (79)
26 Minat musical : Sedang (58)
27 Minat social service : Tinggi (80)
Kecerdasan emosional
28 Kecerdasan emosional : Rendah sekali (4)

.
Setelah membaca hasil tesnya, Ryuuzaki kembali berkutat dengan berkas-berkas kasus, dan tidak membiarkan bayang-bayang angka-angka itu menghantuinya~~~~

~~~~~ (FIN) ~~~~~
A/N : ide ini muncul begitu saja saat saya membenarkan letak hasil tes IQ saia di dalam map-dokumen-penting-kayak-rapot-dan-piagam. Hmmm, saiia berusaha memvonis L semirip mungkin dengan dia-nya yang asli. Tapi rasanya ada yang nggak nyambung *pusing* nilai intelegensi antara L dan saia nggak jauh beda! Cuma beda 100 angka, kok!! *ketauan idiotnya* hmm, yang persis sama antara L dan saiia *karena nilai-nilai saiia juga berpengaruh pada hasil punya L* hmm, nomor 2,3,4,5,28,7,9,13,22,24
Hehe. Ada juga bagusnya saiia *agak bangga sama diri sendiri* ternyata saiia nggak bego-bego amat
Maunya saia dengan bejadnya membuat ketertarikannya dengan lawan jenis nol, tapi karena saia dari awal wanti-wanti buat bikin fic non-pairing(yaoi), jadi saia kasih aja poin 1. Gitu deh~
L : curhat colongan
cH : biarin, week. Yang penting nilai hubungan dengan lawan jenis ku lebih tinggi 30 point dibanding kamu
L : hn...
Light : L, yaoian yuk~~
L : ayo ajah
cH : eh, ikuuuut~
.
Mind to review?

fanfic naruto

LEMON
--- asem ---
Naruto memposisikan dirinya senyaman mungkin. Ia tidak mau merasa sakit, atau menyakiti. Jadi, ia menggerakkan dirinya pelan-pelan, toh mereka tidak sedang dikejar waktu. Santai dan rileks. Nikmati semuanya. Ia mulai bergerak seiring nafasnya. Diputar-putar, agar terkuras lebih banyak. Ia menekan-nekan hingga cairan itu keluar lebih banyak. Lebih banyak yang ia dapat, lebih baik.
Ia sedikit terengah, tapi itu wajar. Mungkin kegiatan yang sudah dilakukannya sejak pagi itu memang melelahkan bagi sebagian orang. Tapi ia menjalaninya dengan santai. Toh itu memang pekerjaannya. Ia memekik kecil saat cairan itu menciprat ke matanya, yang membuatnya harus menghentikan aktivitasnya dan menarik tangannya untuk meraba-raba mencari tissu.
Partnernya, si pemuda pantat ayam, membenarkan posisinya, dan mengambil selembar tissu lalu memberikannya pada Naruto.
“Thanks,”
“Hn,”
Setelah membersihkan matanya, akhirnya Naruto kembali beraktivitas. Ia memutar-mutar lagi, lalu menekan-nekan hingga rasanya sesuatu di tangannya sudah tipis.
“Ah, harus ganti,” katanya, seraya mengambil sesuatu dari kotak di sebelahnya. Ia memilih-milih, kira-kira mana yang terlihat meyakinkan.
Sasuke mendongak, lalu menunjuk sesuatu itu. “Hn, yang itu sepertinya boleh juga,”
Naruto melihat arah jari Sasuke, lalu mengambil sesuatu itu. Ia menimbang-nimbang, apakah itu cukup bagus atau tidak. “Cepat, Dobe!”
Tidak punya pilihan, Naruto segera membelah benda itu menjadi dua, lalu mulai meletakkannya di tempat seharusnya. Ia mulai memijit-mijit pelan, kemudian dipercepat dan akhirnya ia memutar-mutarnya, lalu menekan-nekan lagi. Cairan yang keluar cukup banyak, membuat Naruto puas. Sasuke sepertinya juga puas, tapi tetap memasang wajah stoic andalannya.
Naruto melihat cairan itu antusias, lalu sedikit mencicipinya. Ia mengernyit, namun akhirnya ia menyesap lebih banyak dan menelannya. Sasuke menaikkan alisnya, merasa harus mendapat bagian.
“Dobe,” panggilnya.
Naruto mengerti dan memberikan Sasuke sedikit cairan itu. Sasuke menyesapnya, lalu menautkan kedua alis hitamnya. “Ini terlalu asam, Dobe,”
“A..” Naruto ingin menyangkal, tapi tidak jadi. Toh rasanya memang asam. Ia menunduk, kesal pada dirinya sendiri.
“Yang kemarin jauh lebih enak,”
“Aku tahu,” kata Naruto. Ia mengangkat kepalanya, menatap Sasuke lekat-lekat. “Jadi, bagaimana?”
Sasuke berujar lancar, “Enam,”
Perlu beberapa detik bagi Naruto untuk mengerti ini, sebelum akhirnya ia berteriak. “TEME! Kenapa hanya enam?”
Sasuke menutup telinganya dengan telunjuk, sebelum menjawab, “Kau tahu rasanya asam, DOBE!”
Tapi Naruto tidak peduli fakta itu. Ia malah tambah kesal, dan mencak-mencak sendiri.
“Dobe! Kau berisik sekali,”
“Ya, ya. Tapi kenapa tidak berhasil? Menurutku itu sudah benar. Ah, iya! Pasti karena yang terakhir itu! Sasuke, pilihanmu salah!”
Urat kesal kini numpang di dahi Sasuke. “Dobe, memang komposisinya yang salah!”
“Tidak mungkin! Aku merancangnya sendiri!” kata Naruto, setengah histeris. Ia berjalan mondar-mandiri, lalu melihat resep yang tertulis di kertas. Ia menjunjuk-nunjuk bahan-bahan apa saja yang ia tulis kemarin, dan ia menepuk dahinya saat melihat ada sebuah benda yang lupa sama sekali ia masukkan.
“Teme, bukan resepku yang salah,” ia nyengir. “Ternyata aku lupa menambahkan madu,”
Dan kalimat itu sukses membuat Sasuke melempar bantalnya ke wajah Naruto. Dan kena telak!!
“Ugh! Sakit, Teme!”
“Lebih sakit mana denganku yang sedang flu dan diganggu makhluk pirang sepertimu?” kata Sasuke. Suaranya menggelegar, kesal.
“Ehehe, maaf, Sasu’chan. Aku hanya ingin melakukan sesuatu agar kau cepat sembuh. Lagipula, lemon baik untuk kesehatan. Ada banyak vitamin C,” bela Naruto.
“Huh! Usuratonkachi,”
Sasuke menarik selimutnya, lalu meletakkan kepalanya di atas bantal.
“Ya, sudah. Selamat istirahat, ya! Cepat sembuh!” kata Naruto, berjalan pergi.
Sebelum ia mencapai pintu, Sasuke memanggilnya. “Kenapa?”
“Lain kali jangan lupa madunya,”
Naruto tersenyum. “Siap, Tuan!” katanya sambil menghormat layaknya militer. Ia pun berjalan pulang sambil menyusun resep untuk minuman berkhasiat lainnya.
FIN

fanfic deathnote

Saia bikin semacam biodata kecil-kecilan ala DN charas. Hehe. Pas bikin di word, saia pake background Mello~ uhhh so sweet~ Saiia harap ini cukup sederhana, sehingga bisa disebut fluff. Um, saiia crossrover sama Naruto~ Oke? Let’s read!! ~sparkle~
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
DnN chara’s (hide) bio
Pair : yaoi semua, al: Lraito, MattMello, Narusasu
Genre : romance/(sedikit)humor
Rate : Teh (13+)
Warning : sesuai tokohnya, fic ini berisi yaoi!!! Yang nggak suka, pergi aja! Yang suka, baca en review! Okeh? Ah, warning lain : gajeness, out of mind, dan yang paling parah, suka-suka author! Bagi yang nggak suka yaoi humor, silakan~ mau pergi ato apa~ dosa ditanggung pembaca, authornya udah ke neraka (??)
Disclaimer : DeathNote © Tsugumi Ohba ‘n Takeshi Obata
Naruto © Masashi Kishimoto
Fic ini © otak author
.
.
.
Suatu pagi di desa fanfiction, tersebutlah dua kelompok anime/manga yang cukup terkenal di dunia, yaitu kelompok DeathNote dan kelompok Naruto. Para tokoh hidup dengan damai, apalagi, bagi anime/manga yang ceritanya sudah tamat, nasib semua tokoh sudah ketahuan. Bagi anime/manga yang belum tamat, mereka merasa agak was-was dengan nasib mereka yang asli. Yah nasib mereka di fanfiction, sudah tidak bisa diharapkan lagi. Ada banyak badai, badai yaoi, badai yuuri, dan yang paling mengguncang, adalah badai pasangan straight (??)
Untuk mengatasi badai itu, maka para Dewa di langit mengutus sesosok makhluk yang memiliki sifat amat gak karuan, padahal amat aja karuan, demi menyelesaikan permasalahan~
Dan, diutuslah sesosok makhluk dari dasar neraka. Matanya coklat gelap, saat malam terlihat hitam karena gak punya lampu. Rambutnya berwarna coklat, maunya di-highight merah, tapi karena masih SMA, belum boleh. Wajahnya enak dilihat, namun tidak enak dimakan. Tubuhnya tinggi, kakinya jenjang. Cewek ataupun cowok senang melihatnya. Dia begitu tampan, dan memiliki senyum manis.
Dialah Sang OOC kita, CASH !!!
Bletak!! Oke, cerita sebenarnya~
Cash- adalah sesosok makhluk yang datang dari dasar neraka akibat perintah dewa-dewa di langit. Dewa-dewa itu ingin memastikan apa benar kabar burung dan fic-fic yang beredar di internet bahwa ada banyak chara di dunia anime/manga yang beryaoi ataupun beryuuri. Maka, diutuslah si Cash ini, datang ke fanfiction untuk menyelidiki. Karena memang dasarnya si Cash malas, apalagi dia suka dengan bishi (dan dia sendiri yaoi) maka untuk mempermudah pekerjaannya, ia pun menyebarkan angket untuk diisi biodata oleh beberapa cowok ganteng. Nah, mari kita lihat, hasil dari angket itu!
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
Di fandom DeathNote~
“Oi Matt! Mana coklatku?” teriak Mello. Ia sedang berada di sebuah kamar hotel bintang tujuh (kayak obat sakit kepala) di Jepang. Dengan alih-alih di Whammy dulu mereka sekamar, Cash memberinya jatah sekamar dengan Matt.
Matt, yang sedari tadi bermain Resident Evil, mempause gamenya, lalu melempar Mello dengan sebuah tas besar berisi coklat aneka merk-yang-pasti-mahal, lalu me-resume gamenya lagi.
Mello mengambil tas itu –yang jatuh ke lantai padahal sebelumnya mengenai wajahnya- dan membukanya. Ia mengambil sebuah coklat batangan, lalu membuka kulitnya dan memakan kulitnya. Er, maaf, maksudnya, makan coklatnya. Sementara Mello asyik ngemut coklat dan Matt main game, dua lembar kertas melayang dari arah jendela, terhempas angin dan menamplok masing-masing muka mereka.
“Huwa! Siapa yang matiin lampu? Gue tembak dia! Coklat gue!” teriak Mello panik.
“Huwa! Siapa yang matiin lampu? Resident Evil gue kalah dong!!” teriak Matt.
Well, meskipun nggak rela gelap-gelapan dengan alasan yang beda, mereka tetep teriak dengan gaya yang sama, ‘kan? Jahil Cash. Lalu, beberapa saat setelah mereka berdua ngumpat-ngumpat nggak jelas, mereka sadar kalo bukan lampunya yang mati, tapi ada sesuatu yang namplok muka mereka. Jadilah, mereka lega dan membaca isi kertas itu.
“Isi sesuai identitas kalian!” kata Mello, membaca suruhan di lembar kertas itu.
“Harus jujur. Jangan mengulang membaca, usahakan jawab dari dasar hati nurani!” kata Matt, yang membaca suruhan kedua.
Matt dan Mello saling pandang, lalu mereka mengisi kuisioner itu dengan patuh.
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
Di kamar sebelah, ada Raito Yagami dan L yang sedang duduk berdua di satu sofa. Karena masing-masing salah satu tangan mereka diborgol satu-sama lain, jadinya mereka tidak bisa jauh-jauh. Alhasil, mereka pun dijadikan satu kamar. Wow! Alasan yang (agak) masuk akal.
Nah, di sofa itu, L duduk dengan pose kebanggaannya. Duduk gaya jongkok! Dan Raito, yang merasa seorang gentlewati, maaf, maksudnya, gentleman sejati, duduk dengan menaikkan salah satu pahanya di atas paha lain. Yah, gaya duduk cewek Indonesia.
Mereka duduk-duduk dengan posisi masing-masing, dan melakukan aktivitas masing-masing, dengan pikiran masing-masing, dengan tubuh masing-masing, dan pakaian masing-masing. *author dibakar*
L sedang mengaduk secangkir kopi manissss dengan menggunakan sebuah lolipop coklat. Sedangkan Raito sedang membaca berkas-berkas Kira, untuk mencari celah mana yang bisa ia manipulasi sedemikian rupa sehingga nilai x kurang atau sama dengan nol persen, x elemen bilangan riil. Hehe~ maksudnya, maunya dia manipulasi sedikit supaya persentase dia adalah Kira itu menjadi nol persen. Nah, nol kan termasuk elemen bilangan riil toh?
Semasa mereka serius berpikir (apa sih yang dipikirin L waktu ngaduk-ngaduk kopi?) terbanglah dua lembar kertas kuisioner. Mengingat adanya kejadian tidak elit di kamar sebelah, maka dari itu Cash memutuskan menjatuhkan kertas itu di atas pangkuan masing-masing cowok itu. Kalo jatuh di atas pangkuan Raito mah mulus, nah, masalahnya, pangkuannya L kan terlipat, gara-gara gaya duduknya yang jongkok itu, makanya pahanya menempel dengan perut. Susah buat jatuh di pangkuannya. Makanya, kertas itu dijatuhkan di atas kepala L aja, deh~
“Eh? Ada kertas kuisioner,” kata Raito. Ia mengambil kertas itu, lalu membacanya. “Isi sesuai yang diminta sejujur-jujurnya, jangan biarkan orang di sebelah Anda tahu apa jawaban Anda,” katanya, membaca suruhan di kuisioner itu.
Sementara itu, L yang merasa tidak mendapat jatah kuisioner, protes. “Kenapa Raito-kun dapat tapi saya tidak?”
Raito melihat ke arah L, lalu menunjuk atas kepalanya. L mengambil kuisioner di atas kepalanya, lalu mendapati suruhannya sama dengan yang dibaca Raito. Mereka saling melempar pandangan sedetik, sebelum menjauh sejauh 2 meter *itu panjang rantai mereka* lalu berusaha mengisi kuisioner dengan pose siap membunuh kalau ada yang menyontek.
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
Di fandom Naruto
Seorang bocah berambut pirang sedang duduk di balkon apartemennya, memandangi langit sore yang kemerahan. Sedangkan, di dalam kamarnya, tepatnya, di dapur yang menjadi satu dengan kamar Naruto, seorang pemuda berambut hitam jabrik dengan bagian belakang rambut bergaya seperti pantat ayam, sedang membereskan mangkuk-mangkuk ramen instan yang berserakan di mana-mana.
“Oi, Dobe! Bantu, dong! Ini sampah ramenmu!” teriak pemuda berkulit putih tapi berbadan krempeng itu. Uchiha Sasuke.
“Hh,” balas Naruto. Sasuke tertegun. Biasanya, kalau Naruto dipanggi Dobe, ia pasti balas memanggil Teme. Apalagi, jawbaanna tadi hanya ‘hh’, biasanya yang menjawab sekenanya dengan ‘hn’ kan Sasuke?!
“Oi, Dobe! Dengkulmu terbentur, ya?”
“Nggak,”
Aneh, ‘kan? Biasanya, kalau ada yang berbeda dengan orang yang kita kenal, kita akan bertanya apa kepalanya terbentur. Lalu kenapa Sasuke bertanya apa dengkul Naruto yang terbentur? ‘Karena dia berpikir memakai dengkul’ pikir Sasuke mantap. Sebuah kunai melayang melewati pipi mulus Sasuke, menancap kuat ke dinding tepat 1 milimeter dari wajah Sasuke.
“Oi, Dobe! Aku ‘kan hanya bercanda!” teriaknya kaget. Eh, Uchiha bisa kaget? Ah, suka-suka author~
“Memangnya ada apa?” kata Naruto. Sasuke cengok sendiri. Lalu, ia menunjuk ke arah dinding, di mana terdapat sebuah kunai lengkap dengan surat tantangan. Eh, tunggu dulu. Surat tantangan?
Sasuke mengambil surat yang terikat di pegangan kunai itu. Ia membacanya, lalu menyerahkan selembarnya ke arah Naruto.
“Tuh ada surat tantangan,”
Naruto mengambil selembar kertas, dan membacanya, “Isi kuisioner ini dengan benar. Kalau menang, dapat hadiah menarik dari author!” Sesaat mereka diam, saling pandang, lalu terjadi pertarungan sengit.
“Rasengan!”
“Chidori!”
Tepat saat kedua elemen itu hampir bertemu (maksudnya sebelum terjadi kehancuran akibat dua elemen yang saling bertentangan) datanglah Cash sang OOC. Ia berdiri di tengah-tengah kedua ninja genin itu, dan bergaya sok keren layaknya Kakashi di Naruto season 3, waktu Sasuke nantang Naruto bertarung di atap rumah sakit.
“Weitz! Tunggu dulu! Kan surat tantangannya nyuruh kalian jawab pertanyaan, kenapa bertarung?”
Sasuke dan Naruto berpandangan, lalu menjawab bersamaan. “Ngaak tahu,” dengan polos, plus tampang (nyaris) tanpa dosa.
“Jyah!! Trus, kenapa bertarung?!”
“Tanya aja sama authornya!” kata Naruto. Cash melihat Sasuke, dan cuma dibales dengan ‘hn’.
“Ya sudah. Jawab tuh, kuisioner. Yang menang bakal dikasi hadiah menarik dari author,” dan Cash menghilang.
“Wow! Datang tak dijemput, pulang tak diantar!” kata Naruto.
“Tepatnya, dia datang tak diundang, pulang nggak bilang-bilang. Main pergi aja. Padahal mau kuajak bersihin sampah ramen ini bareng,” kata Sasuke.
“Eh, hadiahnya apa, ya?”
“Kerjakan saja. Tapi, pasti aku yang menang, Dobe,”
“Heh, Teme. Aku lebih hebat darimu!”
Dan begitulah. Author sendiri gak tahu kenapa kuisioner mereka akhirnya bisa terisi, mengingat pertarungan dahsyat mereka.
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
Cash tiba-tiba muncul di hadapan readers! Hehe~ kaget nggak? Nggak, ‘kan? Kalo iya, Anda perlu periksa ke dokter mata!
Nah, Cash ini sedang membawa kertas-kertas hasil kuisioner pairing yaoi kita kali ini~
Nah, minna-chan, ini hasilnya~
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
Name : Mello
Likes : Matt
Dislikes : Kira
Fave thing : COKLAT!!
.
Name : Matt
Likes : Mello
Dislikes : kalah maen game
Fave thing : PSP
.
Name : L
Likes : Raito
Dislikes : crime
Fave thing : sweet food
.
Name : Raito Yagami
Likes : L
Dislikes : unfair
Fave thing : DeathNote
.
Name : Uzumaki Naruto
Likes : Sasu-teme
Dislikes : Akatsuki, Orochimaru
Fave thing : RAMEN
.
Name : Uchiha Sasuke
Likes : Dobe
Dislikes : baka‘tachi
Fave thing : kekuatan
.
setelah membaca hasil kuisioner itu, maka Cash kembali ke alamnya untuk melapor. Hehe~

KELAR FIN

Nah, gimana? Pendek? Hehe~ ini Cuma iseng, jadi jangan diambil hati. Inget review. Baca fic tanpa review? Apa kata dunia? Hehe. Saia bikin ini terinspirasi sama gambar Mello yang bergaya santai, trus di pojok kiri bawahnya ada tulisan namanya dia, kesukaan en apa yg dia nggak suka. Ah, hope you enjoy this story~
Saiia lagi dalam mode lebay~ hehe~ karena sedang stress gak dapet juara umum~
Ya sudah~ saiia mau bikin fic lagi
See you in my next story~~

fanfic DeathNote

Cat
Pairing : MattMello
Rate : T
Genre : Romance/Family – yaoi
Don’t like, don’t read
Disclaimer : Matt & Mello are belong to Takeshi Obata and Tsugumi Ohba
Summary : Matt membawa pulang seekor kucing
------------ enjoy -------------
Hari itu hujan. Air-air asin itu jatuh dengan deras, seakan marah pada bumi dan ingin menghantamnya berulang kali. Dan mungkin itu yang dirasakan oleh pemuda berambut pirang itu. Sudah dua jam dia menunggu, tapi orang itu belum datang juga. Benar-benar membosankan, duduk sendirian membaca kertas-kertas kasus dan tidak ditemani oleh bunyi game.
Hari yang membosankan.
--- --- --- --- ---
Hujan masih deras. Hari sudah semakin sore. Dan dengan rasa malas, Mello berdiri dari duduknya, untuk sekedar menyalakan lampu. Setelah semua lampu dihidupkan, ia kembali duduk di sofa, dan membaca-baca tanpa niat. Hanya sekilas dan sekedar membuang waktu.
Pintu berderit terbuka. Seorang pemuda berambut merah menyala, berbaju belang merah-hitam dan celana jeans masuk. Badannya basah kuyup. Ada tetesan-tetesan air yang jatuh dari rambutnya. Ia terus berjalan menuju ruang tengah, dan tersenyum hangat memandang Mello yang memasang wajah sinis.
“Kau membuang waktuku,”
“Maaf, hujannya terlalu deras. Aku harus berusaha agar laptopku tidak basah,”
“Che,”
Air menetes-netes ke lantai, dan itu membuat Matt harus segera ke kamar mandi. “Aku mau mandi dulu,”
Matt berjalan menuju kamar mandi, dan Mello kembali membaca berkas-berkas. Entah kenapa, kali ini konsentrasinya kembali dan ia bisa menganalisis berkas-berkas itu dengan mudah. Seakan semua beban telah lepas.
“Meow,”
Terdengar bunyi hewan pemakan ikan.
Mello tidak mempedulikan suara itu. ‘Hujan menyamarkan semuanya’ pikirnya.
“Meow,” suara itu terdengar lagi.
Mello masih tidak menanggapinya.
“Meow,”
Dan kali ini, suara itu benar-benar mengganggu. Mello melihat sekelilingnya, dan betapa terkejutnya saat ia melihat seekor kucing hitam ada di depan kakinya. Mello baru akan mengambil kucing itu saat tiba-tiba Matt berjongkok di samping kucing itu. Ia menggendong kucing itu.
“Aku menemukannya di jalan. Kasihan, ‘kan? Dia basah kuyup,”
Mello mengernyit. Mereka saling berpandangan dalam beberapa detik, melancarkan aksi adu kontak mata, dan diakhiri dengan Mello yang mengalihkan pandangan. Tapi meski bukan melalui kata-kata, Matt tahu Mello tidak keberatan.
“Pakai bajumu,” kata Mello. Ia sengaja mengalihkan pandangannya, berpura-pura membaca berkas di tangannya.
“Ah, ya,” kata Matt yang baru sadar kalau ia hanya melilitkan handuk di pinggang sebagai penutup tubuhnya. “Um, oke,”
Mello memandang ke arah jendela. Hujan telah reda. Ia bangkit, dan berjalan menuju pintu. “Aku mau beli coklat,”
Matt mengangguk, masih menggendong kucing itu, sambil mengelus-elus kepalanya.
Setelah yakin Mello telah pergi, Matt bertanya pada kucing itu, “Sepertinya kalian belum saling beradaptasi, ya?”
“Meow,”
--- --- --- --- ---
Mello sedang tidur di bed miliknya (dan Matt). Matt baru saja masuk kamar sambil membawa beberapa berkas, dan menghidupkan laptopnya.
“Sepertinya ada kelompok jalanan baru yang mencari masalah dengan anak buah kita,” kata Matt. Ia berjalan dan duduk di pinggir tempat tidur.
“Suruh Roger mengurus mereka. Cari tahu apa mereka punya relasi dengan mafia yang menjual mariyuana ke Jepang,”
“Baiklah,”
Matt kembali duduk di kursinya dan mencari-cari info tentang geng jalanan itu, sementara Mello masih tiduran.
Kucing hitam itu tiba-tiba naik ke ranjang, dan meringkuk di bantal Mello. Mello membalikkan badannya.’Tidak buruk’ batinnya. Tanpa sadar, Mello mengelus kepala kucing yang tertidur pulas di sebelahnya.
“Dia imut, ‘kan?” kata Matt memecah keheningan.
“Che,” Mello membalikkan badannya lagi, memunggungi Matt.
“Tapi aku tetap lebih menyukaimu, kok,” kata Matt sambil nyengir.
Mello mendengus, membalikkan tubuhnya lagi untuk tidur, tapi Matt sudah ada di sebelahnya dan menarik dagunya. “Itu benar, kok,” Dan pemuda berambut merah itu mencium lembut si pirang. Mello membalas, sebatas ciuman ringan dan lembut.
Beberapa detik, Matt menjauhkan kepalanya. “Kau makan berapa batang coklat hari ini?”
“Siapa peduli,” dan mereka berciuman lagi.
--- --- --- --- ---
Matahari sudah tinggi. Cahaya-cahayanya merambat ke dalam ruangan itu melalui celah jendela yang terbuka. Dan berkas-berkas sinar itu mengenai seseorang yang sedang tertidur pulas.
Sebuah lagu mengalun di udara, membangunkan Matt dari tidurnya. Dengan malas, ia meraba-raba tempat tidurnya untuk mencari handphonenya.
“MATT!!” teriakan itu sukses membuat Matt terbangun. Hal pertama yang ia lihat adalah Mello yang berteriak. “Matikan handphonemu!”
“Eung, oke,” Matt meraba-raba lagi, dan ternyata handphonenya ada di bawah bantal. Herannya, bantal itu tidak berada di bagian kepala tempat tidur, tapi tergeletak di pinggir bawah tempat tidur. Ia segera mematikan handphonenya. Ternyata itu bunyi alarm. “Mello, hari ini kita ada janji dengan orang-orang dari tempat orang itu, ‘kan?”
Mello menoleh. Ia tampak berpikir sebentar, dan mengangguk sekilas. Matt menutupi bagian bawah tubuhnya sampai ke pinggang, dan memandang Mello-yang sedang berjongkok dan bermain-main dengan si kucing hitam-sebagai sarapan paginya.
“Hm, kalau begini, aku jadi tidak lapar,” kata Matt.
Mello menoleh, dengan si kucing dalam rangkulannya. “Kenapa?”
“Melihatmu saja sudah membuatku kenyang,” kata Matt santai. Plus cengiran lebar.
Hening.
“Lalu untuk apa aku membuat sarapan, hah?! Pokoknya kau harus makan!” teriak Mello.
Matt kaget sendiri, tapi ia dengan mudah sadar. Toh setiap hari Mello memang sering marah, kan?
“Che, jangan marah! Kalau kau yang buat pasti aku makan, kan?”
‘Cih, aku kena!’ rutuk Mello.
“Ah, kita harus bersiap-siap, Mells. Sejam lagi mereka datang,” kata Matt. Ia menggoyang-goyangkan tangannya, dan si kucing hitam melepaskan diri dari rangkulan Mello. “Ah, dia patuh padaku,”
“Tentu saja. Kau yang menyelamatkannya,”
“Tidak juga. Dia bisa tinggal di sini karena kau mengizinkannya,”
“Che, ini kan rumahmu,”
“Rumah kita berdua, Mihael Keehl,”
“Che, Mail Jevas,”
“Ok, sebaiknya kita cepat mandi atau mereka akan meninggalkan kita,”
--- --- --- --- ---
Mello duduk di sofa dengan tangan kanan memegang berkas-berkas kasus Kira dan tangan kiri memegang coklat batangan. Ia membaca berkas-berkas itu sambil sesekali, atau beberapa kali, dalam sepuluh detik, menggigiti coklat Cad Burry itu.
“Menarik juga,”
“Apanya?”
Mello menoleh sekilas ke arah Matt, memperhatikan pemuda berambut merah itu. “Kenapa pakai rompi? Mau ke mana?”
“Ah, aku mau beli game baru,”
“Che,”
“Mungkin aku pulang agak sore. Sepertinya ada banyak pilihan baru,” Mello tidak mendengarkan, jadi Matt pergi.
--- --- --- --- ---
Setelah 20 menit.
Kucing itu mengais-ngais di depan kaki Mello. Bosan, Mello memilih bermain-main dengan si hitam itu.
“Kau kesepian?”
“Meow,”
“Yeah, dia memang menyebalkan,”
“Meow,”
“Kerjanya hanya main game saja,”
“Meow,”
“Seharusnya dia bertanggung jawab,”
“Meow?” entah kenapa, nada kucing itu terdengar seakan bertanya.
“Well, dia sudah mengambil kita, jadi seharusnya dia tidak membiarkan kita kesepian,”
“Meow,”
--- --- --- --- ---
Flashback
Hujan.
Apakah itu menunjukkan bahwa ada seseorang yang sedang menangis?
Apakah itu menjadi pertanda bahwa ada seseorang di bumi sana yang sedang bersedih?
Apakah itu pertanda bahwa seseorang baru saja kehilangan?
.
Tidak, tidak selalu begitu.
Kadang hujan bisa menjadi pertanda hari akan cerah.
Dia bisa menjadi pijakan dari awal yang baru.
Ia seolah berkata, “Kehidupan masih akan jadi lebih baik,”
Kata-kata itu berdengung di kepalanya. Kata-kata yang memenuhi pikirannya saat ini, padahal beberapa detik yang lalu ia sedang kalut. Kata-kata yang seolah berasal dari langit.
Tapi suara itu nyata. Mello yakin dia mendengar suara itu. Ia yakin seratus persen, karena dalam hujan yang deras itu, suara itu terasa lain. Terasa begitu menenangkan, dan nyaman.
Ia mengangkat kepalanya, dan menemukan seorang pemuda sebaya dengannya sedang berdiri di hadapannya. Orang aneh yang memakai baju bergaris merah-hitam dengan rompi putih, celana jeans dan sepatu but sebetis. Orang yang aneh, karena di tengah hujan begini bukan langsung pulang malah menyapa orang asing.
Orang aneh yang bisa membuat hatinya merasa nyaman hanya dengan mendengar suaranya saja.
Matt.
.
Mello berdiri. Ia menatap Matt dengan tatapan sinis, sama seperti tatapan yang ia berikan pada anak-anak lain di Whammy House.
“Pergi!”
“Ayo pulang,”
“Aku tidak akan kembali ke sana,” mata si pirang membulat, menolak.
“Ayo pulang,”
“Sudah kubilang, aku tidak ak..”
“Ayo pulang ke manapun kau mau. Ayo pulang ke tempat di mana kita bisa hidup bersama,”
Mello tercengang.
“Matt, tapi, kau... aku... tapi...” suara Mello bergertar. Tangannya juga sama, gemetar. Tubuhnya terasa kaku. Matt, sahabatnya sejak di Whammy House, orang yang sekamar dengannya sejak ia ada di panti itu, orang yang tanpa disadarinya (dan dia tidak mau mengakuinya) sangat ia sayangi-setelah L, tentu. Dan kini, menjadi orang yang tersenyum, mengajak untuk pulang.
“Mello, kalau kau tidak mau kembali ke Whammy, bukan masalah. Aku akan ikut bersamamu,” kalimat yang sederhana. Dengan Matt yang menjulurkan tangannya, menunggu Mello menanggapinya.
.
Hanya kalimat itu. Hanya kalimat itu yang mendasarinya. Hanya kalimat itu yang membuat Mello berlari, menghambur ke arah Matt dan memeluknya erat. Hanya kalimat, dan sebuah kepercayaan, yang membuat mereka mengikat diri untuk terus bersama. Sebuah hubungan baru, untuk hidup baru.
Untuk hidup yang lebih baik. Dengan sebuah ciuman.
Di sela-sela ciuman-di-bawah-hujan itu, Mello -didorong rasa ingin tahu- mengajukan sebuah pertanyaan bodoh -menurut Matt-
“Bagaimana dengan barang-barangmu?”
Matt terkekeh kecil, tapi ia merasa kesal juga. Bagaimana Mello bisa memikirkan hal itu dalam keadaan seperti ini?
“Demi Tuhan! Mello! Hanya kau yang kubutuhkan!”
.
Dan sebuah kalimat lagi yang meyakinkan Mello bahwa hujan tidak selalu buruk.
FLASHBACK OFF
--- --- --- --- ---
Flashback si Kucing
Hujan menghantam bumi. Menghantam semua yang ada di sana, tanpa ampun. Semuanya. Bangunan, pohon, jalan, mobil-mobil, semuanya. Dan juga seorang pemuda berambut merah yang berlari sambil mengumpat.
“Che, sial! Kalau begini Mello akan menunggu lama!”
Di sebuah persimpangan jalan, ia memilih melewati sebuah gang kecil yang bisa jadi jalan pintas menuju rumahnya -dan Mello-
Saat itulah, ia melihat seekor kucing hitam, di atas kardus, menggigil kedinginan, basah tertimpa hujan. Sebenarnya Matt tidak ingin memungutnya, karena ia tahu Mello benci hewan. Tapi keadaan kucing itu malah mengingatkannya pada Mello. Saat ia berhasil meyakinkan Mello –dua tahun lalu-, bahwa mereka bisa bersama.
“Che, kau mengingatkanku padanya, sih. Ayo, kita ke rumahku,” Matt merangkul kucing itu di dekapannya, lalu berlari lagi.
“Mungkin aku harus menyuapnya dengan puluhan coklat,” keluh Matt sambil berlari dan kucing itu dalam dekapannya.
“Meow,”
“Ya, ya. Bukan masalah,”
Flashback si kucing off
--- --- --- --- ---
Matt membuka pintu kamarnya dan menemukan Mello sedang bermain dengan si kucing.
“Kau kembali, Matt,”
“Tentu saja,”
“Kau beli game apa?”
“Resident Evil V,”
“Pinjam,”
“Aku beli pizza,”
“Taruh saja di meja,”
“Aku mau makan sekarang,”
“Che, Matt,”
Mereka berdua duduk di sofa dan makan pizza bersama.
“Mells,”
“Ehn?”
“Siapa?”
“??”
“Nama,”
“??”
Merasa tidak mendapat respon positif dari Mello, Matt menggendong si kucing dengan sebelah tangannya. “Namanya siapa?”
Mello berhenti mengunyah pizzanya.
“Arthur,”
“Eh? Kenapa Arthur?”
“Kau yang bertanya siapa namanya, kan? Aku mau namanya Arthur,”
“Che, Mello. Kau ada-ada saja,”
Matt menurunkan si kucing, sepertinya dia lapar.
“Ah, sepertinya Arthur kita suka pizza tuna,”
“Hey! Itu bagianku!”
“Mells, jangan ambil bagian Arthur!”
“Hey!”
“Bagianku!”
“Biarkan saja!”
“Hey!”
“Meow”
.
.
.
And they live happily ever after
.
.
.
FIN
.
.
Abal, nggak? Aku berusaha bikin fluffy, tapi agak susah *susah banget* Endingnya agak ngegantung. Mohon mahap! Saiia gak pinter bikin fluff. Padahal pengen!!
Ini terinspirasi dari doujin berjudul Love Life. Lagu pengiringnya Hum Hallelujah milik Fall out boy. Mantab! Tapi aku Cuma sertain sedikit *gak semuanya* coz tulisannya kanji. Ini pun aku bikinnya kira-kira, apa yang mereka omongin. Pokoknya REVIEW! Dan kusaranin, untuk keterangan lebih lanjut baca aja doujinnya, ato cari di u-tub.
Mata ashita!!