Sabtu, 19 Desember 2009

talking talking

hey minna~
saiia kembali~
just say hello en kasi beberapa fic~
hehe
fic-fic saiia ini udah di post juga di ffn, en name saiia sebagai authoe adalah cassie-HAIKU
gitu deh~
baca en review ya~
ntar, saiia kasi lagi catatan buat jadi anak baek~
oke~~~

fanfic naruto

Well, ni pertama kalinya ngetik lagi di laptop setelah insiden itu *nggak mo nyebut2 lagi* Yosh! Harus semangat! Semangat itu bagus buwat hati. Yeah! Good! Semangat yang bagus akan menghasilkan kerjaan yang bagus pula! Kaiak Naruchan! Here we go! *ketawa gaje*
Thousand years
Warning : YAOI en INCEST plus PEDO *makin terlarang makin bagus*
Gajeness, bahasa ambur-adul
Genre : romance/family/terserah
Pairing : U. Naruto X U. Sasuke *yg disebut duluwan jd seme*
Rate : M
Bercanda! Ratenya K koq! Ga mungkin saia yg n.b masih di bawah umur kuat bikin lemon
Disclaimer : eum, Pak Masashi, pinjem tokohnya ya, bentar kok! Cuma oneshoot doank ini
Summary : keluarga vampir. Taulah, umurnya uda tua, muka tetep kinclonk

Pagi yang indah. Tapi ini masih belum pagi. Ini baru pukul 3 pagi. Yeah, t-i-g-a p-a-g-i. Di mana semua manusia kebanyakan sedang asik ngorok di pelabuhan mimpi. Dan saat itulah, terdengar suara kencang tangisan seorang, em, seekor, eh, sebuah, eum, secarik *kertas kali!* yah, pokoknya satu! Lahir satu anak vampir. *ga usa peduliin kata2 Stephenie Meyer klu vampir ga bisa beranak* Di saat ini, tahun 20xx, tercipta sebuah keagungan, ketidakmungkinan yang menjadi nyata dan sebuah kekeliruan *bikin bingung* Akankah sesuatu yang baru datang itu melengkapi makhluk lain yang telah tiba lebih dulu? Akankah ia melambaikan tangan, tersenyum tulus dan pergi dalam damai (??) nggak ngerti ya? Saiia juga. Hehehe. Maap. Tp paragraf gak jelas itu cuma iseng. Aio kita mule aje penpik~nye!

Uzumaki Naruto, sesosok vampir dengan rambut pirang, tubuh tinggi-tegap *beda ma saia yg semampai-semeter taq sampai* dan tentu saja, ketampanan. Pernahkah kau percaya, bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidak baik? Begitulah. Berlebihan *bahasa sastranya hiperbola* memang tidak baik, seperti halnya Naruto. Ketampanannya yg begitu t.o.p b.g.t w.o.w malah membuatnya terlihat cantik. Dan here he is. Di sebuah gank sempit di tengah kota besar London, di mana biyasanya orank2 tak bertanggung jawab bersembunyi.
Ia menjilat sudut bibirnya, mengecap rasa amis darah dari sang recipient. “Sayang sekali. Dia sangat tampan, tapi lebih memilih menjadi preman yang meresahkan kota ini,” katanya. Ia berdiri *sebelumnya jongkok* dan meninggalkan sebuah mayat pria tampan berambut hitam dengan baju yang tidak menutupi perutnya. [1]
Naruto lebih memilih berjalan melintasi malam. Ia memandang jauh ke arah langit, sembari bersiul kecil. Langit malam ini sangat cerah. Bintang-bintang bertaburan seperti kismis di atas roti kismis *jadi inget teori atom J.J.Thompson* Ia berjalan menuju pertokoan yang sangat ramai. ‘Ah, ini kan Natal’ pikirnya. Ia mempercepat jalannya, mencari-cari toko yang kira-kira menjual barang hadiah. Ia berhenti tepat di depan sebuah toko kain. Lengkung halus menghiasi bibirnya.
Naruto masuk ke dalam toko itu. Seorang wanita cantik berambut pirang menyambutnya. “Selamat datang. Ada yang bisa saia bantu?”
“Aku ingin mencari hadiah untuk beberapa ‘orang’,” kata Naruto.
* * *
“Hai! Naruto! Ke mana saja sih? Kami menunggumu, nih!” teriak Kiba. Ia melempar pandangan sebal ke arah sepupunya itu.
“Maaf. Nih, sebagai tanda-minta-maaf,” kata Naruto sambil nyengir. Ia menyerahkan sesuatu.
“Kenapa terlambat? Biasanya kau hanya perlu beberapa menit agar kenyang, ‘kan?” kata Uzumaki Kushina lembut.
“Ah, Kakak. Tadi aku hanya sedang memandangi langit,”
“Aneh,” kata Gaara. “Kau benar-benar vampir yang aneh,” tambahnya.
Naruto nyengir lagi. “Maaf, deh. Kau sudah mau datang jauh-jauh dari Mesir hanya untuk merayakan Natal bersama kami,”
“Ini bukan ‘hanya’. Ini hari yang membahagiakan, tahu!” kata Sakura. Rambut merah mudanya sedikit berantakan saat ia menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya.
“Tidak usah heran,” kali ini Neji angkat bicara. “Toh ia anak bungsu, jadi kalau manja tidak masalah,”
“Iya, ya, maaf. Yang penting sekarang kita semua sudah berkumpul, kan? Ayo, mulai, sebelum salju turun,”
“Ya!” teriak Kiba dan Sakura semangat.
***
“Ah, daging kalkunnya enak sekali!” kata Naruto. Ia tersenyum ke arah kakaknya, Kushina. “Kapan, ya, dia lahir? Aku sudah tidak sabar ingin jadi ‘kakak’. Pasti dia keren, seperti kakaknya ini” tambahnya narsis.
“Haha. Kau ini. Dia akan menjadi anggota keluarga termuda, lho! Itu berarti, gelar ‘bocah’mu selama 400 tahun ini akan diambil,” kata Kushina. Naruto tersenyum tulus.
“Tidak masalah. Toh, aku ‘sudah’ dewasa sekarang,” Mereka berdua sama2 tersenyum.
“Hei! Kalian berdua jangan hanya di sini saja! Ayo keluar! Salju sudah turun. Mau sampai kapan nyuci piring terus?” kata Minato, suami Kushina yang tiba-tiba muncul.
“Ya, kami sudah selesai kok,”
***
Salju turun. Udara terasa dingin. Tapi tidak bagi keluarga besar ini. Karena mereka vampir, udara yang begitu menusuk tulang itu tidak ada andilnya dalam kulit mereka.
“Ha . . . . . ini Natal ke-900 yang sudah kualami,” kata Minato.
“Ini Natalku yang ke-843,” kata Sakura.
Kiba meletakkan gelasnya, lalu menuang wine ke dalamnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Ini Natalku yang ke-600!” Ia lalu meneguk winenya.
Kushina tersenyum. “Ini Natalku yang ke-785. Dan menjadi natal spesial karena ak . . . ukh . . . “ Kushina terjatuh dari kursinya. Ia memegang perutnya yang terasa sakit. Minato, yang tadinya ada di seberang ruangan melesat dengan cepat ke arah istrinya.
“Ada apa?”
“Ukh . . sakit . . “ kata Kushina. Nafasnya tersengal.
“Panggilkan Tsunade!” teriak Minato. Naruto melesat cepat pergi ke rumah sakit yang jaraknya 3 km dari sana. Jarak itu bisa ia tempuh hanya dalam beberapa detik, dan ia sudah kembali lagi membawa seorang dokter manusia berambut pirang.
“Ada apa?” tanya Tsunade saat mereka sampai di gedung tempat keluarga besar vampir itu bernatal-ria. Ia tak sempat bertanya pada Naruto tadi karena mereka terbang dengan kecepatan lebih dari 300 km per jam.
“Kushina, perutnya sakit,” kata Minato. Wajah tampannya menunjukkan ekspresi cemas. Tsunade berjalan mendekati Kushina yang sedang terkapar tak berdaya. Wajahnya mengekspresikan kesakitan mendalam *patah hati kali* Tsunade tersenyum samar.
“Dia akan melahirkan. Sebaiknya kalian keluar. Aku bisa mengatasi ini sendiri. Tapi akan lebih baik kalau Sakura membantu,” kata Tsunade. Minato terkejut, tapi seperjuta detik kemudian ia membalikkan tubuhnya dan pergi bersama yang lainnya, kecuali Sakura. Tsunade menghela nafas. “Kalian merayakan natal pukul 3 pagi?”
Yang ditanya tersenyum sambil mengikat rambut merah mudanya. “Ini permintaan Kushina”
Dan mereka pun melakukan proses persalinan calon ibu di depan mereka.
***
Salju masih turun, dan semakin deras *kayak ujan* Bumi terlihat begitu putih di luar sana. Terdengar suara pintu terbuka. Minato mendongak dan mendapati senyum cerah dari Sakura.
“Selamat! Dia sudah datang,” katanya sambil menyingkir dari pintu untuk membiarkan Minato masuk. Yang disebut belakangan melesat masuk. Dan betapa bahagianya, ketika dilihatnya Kushina tersenyum. Senyuman terindah yang pernah ia lihat selama 900 tahun keeksistensiannya.
***
“Imutnya,” kata Kiba.
“Ya, dia imur sekali,” timpal Sakura. Yang lain mengangguk setuju.
“Menurutku dia keren” semua mata memandang ke arah Naruto –kecuali si bayi. Yang dipandangi berusaha mempertahankan jawabannya. “Yah, rambutnya itu, loh! Hitam, dan matanya juga terkesan kuat. Sepertinya dia akan menjadi seseorang, eh, maksudku, vampir yang cukup berpengaruh nanti,” *jangan peduliin istilah anak imortal atau setengah vampir setengah manusia, di penpik ini yg begituan gak berlaku*
“Yah, aku setuju denganmu. Dia memang sangat keren,” kata Kushina.
Naruto berjalan mendekati Kushina yang sedang menggendong sesosok bayi berambut hitam. “Siapa namanya?”
Kushina dan Minato yang berdiri di belakangnya tersenyum dan menjawab bersamaan, “Sasuke,”
Naruto menunduk, mensejajarkan kepalanya dengan kepala bayi itu. “Nah, Sasuke, selamat datang di keluarga ini. Kau akan menjadi penggantiku sebagai ‘bocah’ termuda sekarang,” tepat saat Naruto mengatakan itu, dalam tidurnya, Sasuke tersenyum. Manis sekali. Sangat imut. Dan tanpa dosa.
***
17 tahun kemudian . . . .
“Sasuke! Teman-temanmu sudah menunggu!” bisik Kushina. Anaknya sedang ada di lantai 3, memakai seragam sekolah. Meskipun jarak dari lantai 1 dan lantai 3 cukup jauh, Sasuke bisa mendengar bisikan ibunya. Ia mempercepat gerakannya, dan dalam 2 detik, ia sudah sampai di dapur.
“Apa sarapan kita sekarang?” kata Sasuke. Ia tersenyum saat melihat omellete rice terhampar di sepanjang piring *kayak pantai aja* Ia memakan sarapannya dengan lahap. Atau lebih tepatnya rakus. Bayangkan, sepiring penuh omellete rice habis hanya dalam 3 detik! Sebenarnya lapar, doyan atau rakus sih? Atau tiga-tiganya?
“Cepatlah! Teman-temanmu menunggu,” kata Kushina.
Sasuke berdiri dan berjalan dengan langkah normal menuju depan rumah. Dari jendela dapur, Kushina bisa melihat aktivitas anaknya dengan teman-teman manusianya.
“Hai! Wah! Pangeran kita tetap tampan seperti biasa, ya!” kata Lee saat Sasuke berjalan menuju ke arah mereka. *krisis pemain* Sasuke hanya membalas dengan ‘hn’. Entah kenapa, jika berhadapan dengan manusia, bawaannya laper terus. Jadi, daripada ia membuka mulut lalu tidak sengaja menancapkan taring di leher teman-temannya, ia memilih tutup mulut. Lagipula, obrolan teman-temannya itu jarang ia perhatikan. Ia lebih sering menghabiskan waktu dengan membaca buku dibanding bersosialisasi dengan manusia-manusia. Kontras sekali dengan ‘kakaknya’. Si vampir kuning yang sangat sering tertawa bersama manusia.
Tentang ‘kakak’ pirangnya itu. Si vampir berisik itu sedang pergi keliling dunia, karena dia sudah ‘bebas’. Semacam, dewasa. Sudah 5 tahun, sejak ia terakhir kali melihatnya.
“Ah, Sasuke. Apa kau sudah mengerjakan pe-er Fisika?” tanya Tenten. Yang ditanya mengangguk seadanya, dan berjalan mendahului mereka.
“Yah, ditinggal deh,” kata Tenten.
***
Pukul setengah empat sore, Sasuke tiba di rumahnya. Dari pintu saja sudah terdengar suara-suara tawa riuh rendah. “Hh, dia datang,” katanya. Ia menarik gagang pintu, dan membuka pintu itu lebar-lebar. Di ruang tamu, ia bisa melihat suasana kekeluargaan yang terpancar sangat menyilaukan.
“Ah, Sasuke,” teriak Naruto. Ia melesat ke arah Sasuke dan memeluknya dengan kencang. “Apa kabarmu, adikku tersayang?” *aneh rasanya ngetik ini* Sasuke menggeliat, berusaha melepaskan diri dari cengkraman-maut ‘kakaknya’ itu.
“Lepas! Aku sudah bukan anak kecil lagi,” kata Sasuke. Akhirnya Naruto melepas pelukan ‘sayangnya’ sambil memanyunkan bibirnya. “Kalau aku bukan vampir, dari dulu aku sudah mati,” kata Sasuke. Ia mengatur nafasnya *emang vampir perlu nafas?*
“Cih! Ototou-ku sekarang sudah tidak menyayangiku lagi!” kata Naruto ngambek. Ia menggembungkan pipinya. Membuatnya terlihat sangat, em, kekanakan *umurnya udah ratusan lho*
Sasuke mengernyit. Mana mungkin ia tidak menyayangi Naruto lagi. *secara ini kan ff yaoi* “Tentu saja aku masih menyayangimu, Aniki,” ‘aku heran siapa yang anak kecil di sini’ batin Sasuke.
Naruto tetap ngambek. Ia berjalan ke arah Kushina dan duduk di sofa sebelah Minato dengan ‘tenang’. Sasuke memberi tatapan aku-harus-melakukan-apa ke arah ibunya, tapi yang ditanya hanya mengangkat bahu.
“Sudahlah. Sekarang Sasuke sudah datang. Ayo kita masuk ke dalam. Aku akan menyiapkan makan malam,” kata Kushina. Naruto mengikuti Kushina ke dalam, diikuti Minato. Sasuke masih diam berdiri dan berpikir ‘apa menolak pelukan melanggar hukum?’
***
Malamnya, makan malam berjalan dengan lancar, mulus tanpa hambatan *kayak jalan tol*
Mereka makan malam dengan tenang. Apa menu makanannya? Cuma Tuhan yang tahu. Setelah makan malam, seperti biasa, mereka duduk-duduk di sofa ruang keluarga, ngobrol-ngobrol. Entah darimana, tiba-tiba perbincangan itu menuju ke arah hal-hal yang menjurus. Eits, jangan ngeres dulu! Maksudnya, menjurus ke arah, eum, agak pribadi.
Perbincangan masalah vampir.
Yah, tentu saja. Mereka tidak mungkin memperbincangkan mengenai masalah manusia, ‘kan? Kan mereka vampir. Ya ngomongin masalah vampir dong! Dan, seperti layaknya manusia, umur tujuh belas tahun adalah umur di mana kedewasaan seseorang sedang dipertanyakan. Maka, dimulailah perbincangan antar orang-tua-anak (plus ‘kakak’) itu.
“Sasuke, sekarang umurmu sudah 17 tahun. Kau tahu apa artinya itu?” kata Kushina.
Sasuke, dengan tampang stoic, menjawab (dengan nada datar), “Aku sudah dewasa,”
Baik Kushina maupun Minato tersenyum tulus. Mereka berdua saling berpandangan, sedang sang ‘kakak’ yang duduk di sebelah Sasuke hanya bisa tersenyum lebar seperti biasa. Tapi entah kenapa, Sasuke merasa ada yang sedikit berbeda pada senyuman ‘kakak’nya itu. Ada yang ditutupinya.
“Sasuke,” panggil Minato. Sasuke mengalihkan pandangannya yang sedari tadi memperhatikan ‘kakak’ pirang di sebelahnya itu. Merasa sudah diperhatikan, Minato melanjutkan, “Kaum kita, kaum vampir, adalah makhluk-makhluk imortal. Tidak seperti manusia yang bisa mati, umur kita jauh lebih panjang dibanding manusia. Bagi kaum manusia, umur 17 tahun adalah saat di mana seseorang sudah bisa dianggap dewasa. Itu karena umur mereka terbatas. Pada batas tertentu, mereka harus menikah dan, kau tahu, punya keturunan. Mereka tahu mereka memiliki batas kehidupan, sehingga mereka harus mempertahankan kaum mereka dari kepunahan.
“Tapi vampir tidak sama. Kita bisa hidup ratusan tahun, bahkan ribuan tahun. Kita tidak harus merasa terburu-buru seperti manusia. Kita memiliki waktu lebih dari cukup untuk itu. Jadi, kau belum dianggap dewasa meski umurmu sudah 17 tahun. Karena...” Minato memandang Kushina sebentar, lalu memandang Naruto, seolah meminta persetujuan. Karena kedua sosok itu mengangguk, Minato dengan yakin melanjutkan. “Vampir dianggap dewasa jika sudah jatuh cinta,”
***
Sasuke duduk di kursi belajarnya, sedang berkutat dengan rumus-rumus integral yang harus dia kuasai untuk ulangan besok pagi. Tidak seperti biasanya, kali ini dia harus membaca tiga-empat kali, sebelum akhirnya mengerti apa yang sedang ia baca. Biasanya, hanya perlu sekali baca, dan ia sudah memahami apapun itu di luar kepala. Ia juga tidak harus berkonsentrasi penuh, tapi sekarang, malam ini, ia harus berkonsentrasi penuh untuk mengartikan dengan benar c kuadrat sama dengan b kuadrat tambah a kuadrat.
Mengerang frustasi. Itulah yang dilakukannya sekarang. Kepalanya terasa penat. Entah karena rumus-rumus integral yang tak kunjung bisa dikuasainya, atau mungkin karena ucapan orangtuanya sehabis makan malam tadi.
“Vampir dianggap dewasa jika sudah jatuh cinta,”
Kesal. Sasuke memilih tiduran telentang di tempat tidurnya, berusaha menjenihkan pikirannya. Jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, dan dia sama sekali belum menghabiskan setengah dari bahan ujiannya besok. Seperempat pun belum. Padahal ia sudah masuk kamar sejak pukul setengah sembilan malam.
“Semua anggota keluarga kita sudah dewasa. Kecuali kau, tentu saja,”
‘Cih, siapa peduli dengan kedewasaan?’ batinnya kesal. Ia menendang bantal guling di kakinya, hingga terlempar ke pintu. Ternyata, bantal itu hampir mengenai seseorang.
“Mau cari udara segar?”
“Eh? Aniki?” kata Sasuke. Ia merubah posisinya menjadi duduk di atas tempat tidur. Naruto tersenyum, lalu sambil berjalan ke dalam kamar Sasuke, ia melempar bantal itu ke arah sang empunya.
“Mau cari udara segar?” ulangnya. Sasuke memandang Naruto sedetik, sebelum mengangguk.
Sudut bibir Naruto tertarik sedikit, membentuk seulas senyuman singkat. “Mau lewat jalan pintas atau yang menghabiskan waktu?”
Sasuke menyeringai, dan menjawab pasti, “Jalan pintas. Waktuku terlalu berharga untuk dihambur-hamburkan,”
Dan mereka pun melompat keluar melalui jendela kamar Sasuke di lantai 3, menuju langit malam yang kelam.
***
Mereka berdua berhenti di sebuah atap gedung pencakar langit. Sasuke bersandar di pagar atap, memandang ke arah kerlip lampu kota di bawahnya. Sedangkan Naruto berbaring di lantai, memandangi bulan.
Tidak ada sepatah kata yang terucap. Hanya ada kebisuan, dengan angin malam yang berhembus, membawa aura dingin. Hal yang tidak mereka rasakan. Keheningan ini –bagi mereka berdua- sangatlah nyaman. Seolah ini adalah cara mereka berkomunikasi. Bagi mereka pun, keheningan dan kebisuan memiliki nada tersendiri.
Mungkin terkesan aneh. Naruto yang biasanya banyak bicara, menjadi diam membisu. Tapi, toh, sekarang ia sedang berhadapan dengan Sasuke, ‘adik’nya yang stoic luar biasa. Entah dari mana ia mendapat sifat seperti itu. Bahkan Gaara tidak sestoic itu –jika berhadapan dengan Naruto-
Dan Sasuke tentu saja bukan tipikal vampir yang banyak bicara, apapun kondisinya. Dan lagi, sunyi seperti ini menenangkannya. Menenangkan sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Sesuatu yang panas, yang ingin menyeruak ke permukaan. Entah apa namanya, dia tidak –belum- tahu.
Mereka berdua tidak saling memandang. Obyek padangan mereka berbeda, dan pikiran mereka pun melayang dengan tujuan berbeda. Tapi meski begitu, baik Naruto maupun Sasuke tahu apapun, sekecil apapun gerakan yang dilakukan oleh vampir di sebelah mereka. Meski Naruto hanya meniup kecil angin yang lewat, Sasuke tahu itu. Bahkan, Sasuke yang menggerak-gerakkan jarinya di udara kosong diketahui oleh Naruto. Mereka tidak melakukan kontak apapun, tapi mereka punya ikatan yang cukup kuat untuk mengetahui bahwa masing-masing diri mereka sedang gundah. Penat.
.
Terkadang, nyanyian bisu yang amat merdu pun bisa membuat kita bosan. Benar, ‘kan? Karena nyanyian bisu itu hanya menenangkan, tanpa memberitahu apa yang sedang kita cemaskan. Tanpa memberi bukti bahwa pada sesuatu yang kita letakkan harapan itu tidak sia-sia.
Nyanyian bisu hanya menghibur kita di permukaan, tanpa menolong kita mencari sebuah jawaban.
Dan untuk itulah, pertama kalinya dalam keeksistensiannya, Sasuke memulai sebuah pembicaraan. Ringan.
“Dewasa itu seperti apa?”
Naruto memejamkan matanya. Ia tidak terlalu berharap Sasuke yang memulai bahasan ini, tapi toh itu tujuannya. “Menjalani hidup dengan tambahan kebebasan,”
“Bebas,” ulang Sasuke.
Dilatar belakangi hembusan angin, Naruto mengubah posisinya. Ia berdiri, bersandar di pagar atap, di sebelah Sasuke. “Kau diberikan kebebasan karena sudah mampu mencintai,”
Sasuke mengernyit. Tidak mengerti.
“Kau tahu? Vampir itu begitu dingin. Dan perasaan cinta, kasih sayang, adalah sesuatu yang hangat. Jika perasaan itu sudah masuk dalam hatimu, kau sudah bertumbuh,”
“Apa itu termasuk, ehm, bebas mencintai siapa saja?”
Naruto memalingkan wajahnya ke arah Sasuke, yang sudah lebih dulu memandanginya dari sudut matanya. “Kebebasan itu kita dapat setelah kita bisa merasakan cinta,”
“Hn,” hanya gumamam kecil kekecewaan.
Naruto tertawa kecil, membuat Sasuke mengernyit lagi. “Kau tahu? Kesamaan kita dengan manusia adalah, kita tidak bisa memilih pada siapa kita jatuh cinta. Kalau sudah jatuh, pasrah saja,”
Sasuke mendengar tawa ringkih dari sosok di sebelahnya. “Aniki,” panggilnya. Naruto menoleh, berhenti tertawa. “Siapa pacar Aniki sekarang?” tanyanya. Polos. Terdengar sekedar ingin tahu. Tapi perasaan tadi makin panas. Semakin ganas ingin keluar. Sesuatu di dalam dirinya semakin ingin menyeruak keluar. Bebas.
Naruto memandang lampu-lampu kota di bawahnya, memandang ke kejauhan, sampai batas pandangannya.
“Belum satupun ada sosok yang bisa jadi pacarku,”
Sasuke menoleh. Tepat saat Naruto menoleh ke arahnya. “Aku dianggap dewasa hanya karena kau lahir, Sasuke. Dan karena itu juga aku jatuh cinta....”
.
“......padamu,”
Bebas.
Sesuatu yang bergejolak di dalam tubuhnya bergemuruh, menghancurkan lapisan tebal dirinya yang tertutup. Sasuke sekarang remuk, tanpa pertahanan. Ada perasaan menghentak di dalam dirinya. Jauh di lubuk hatinya, timbul perasaan hangat. Bukan rasa panas tadi. Panas itu terasa hilang, dan berubah menjadi hangat. Nyaman sekali.
“Aniki...” panggil Sasuke. Matanya tertutup bayangan rambutnya. Naruto memandangnya lekat. “..sekarang aku tahu bagaimana rasanya menjadi dewasa,”
Naruto mengernyit, tidak mengerti. Tapi, tidak ada waktu baginya untuk berpikir sekarang.
Sasuke menghambur memeluk Naruto, yang tentu saja, membalas pelukannya, meski agak kaget. Saking eratnya pelukan mereka, tubuh mereka oleng, dan dua sosok itu jatuh dari lantai 31.
Tapi apa sih peduli mereka? Toh mereka vampir. Jatuh pun tidak akan membuat mereka luka.
“Hei, hei. Kau tidak perlu buru-buru. Masih ada waktu ribuan tahun lagi, ‘kan?” kata Naruto. Sasuke tidak peduli. Dalam posisi jatuh begitu pun, ia tetap mempererat pelukannya, membenamkan kepalanya di leher ‘kakak’nya itu.
Aku tidak peduli. Yang jelas, sekarang si bocah ini sudah jatuh cinta.
***
FIN

A/N : betapa pendek dan gajenya penpik saia nie. Ni Cuma penpik hasil ide pas sembahyang. God! Sembahyang tapi kepikiran yaoi? D**n it! Yah, begitulah. Endingnya rada maxa sih. Tapi yang penting jadi *ditendang, ditampol, digampar*
[1] Sebenernya najis bilang Sai tampan (maaf buat Sai-fans) tapi saiia suka bunuh Sai *geplaked*
Oh ya. Klarifikasi, nih. Masalah warning itu. Kan saiia bilang ini mengandung yaoi, incest dan pedo. Nah, bagi yang nggak ngeh, nih, saiia jelasin *bergaya ala Oemar Bakrie*
(1) Pedo : maksudnya pedophilia. Yang saiia tahu, cewek yg suka cowok yang lebih muda namanya Shotakon. Kalo cowo suka sama cewe yg jauh lebih muda namanya Lolikon. Saiia bingung. Cowok yang suka cowok yang jauh lebih muda namanya apa? Ya udah, pedo aja! Secara, beda umur mereka 400 tahun. Wuuu~
(2) Incest : biar saiia terangkan agar jelas. Gini, di fic gajebo ini, Minato tuh nikah sama Kushina. Dan anak mereka adalah Sasuke. Sebodo amat ama cerita asli kalo anak mereka tuh Naruto. Ini kan penpik~ jadi, Naruto adalah adeknya Kushina, berarti Sasu adalah keponakannya Naruto. Karena ngerasa nggak enak kalo Sasu manggil-manggil Naru pake ‘paman’, bikin aja panggilan mereka jadi ‘kakak-adik’ Hehehe. Toh beda umur mereka Cuma 400 tahun *dirasenrengan + chidori nagashi*
(3) Yaoi : kalo nggak ngeh sama yg ni, terlalu~ *ala Roma Irama* secara, mereka pelukan kaya gitu! Secara pairnya aja udah Narusasu, ya pasti yaoi dong! Iya kan? Saiia emang nggak ngebikin secara detail, dan nggak bikin mereka saling bilang aishiteru, tapi, puh lis deh, emangnya penting banget ya? Toh, seperti kata Naru, nggak usah buru-buru. Biarin aja berjalan~ nggak perlu ungkapan yang secepat kilat getho~ ya kan? Setuju ‘kan? Harus! *maksa* *nodong pake bedil*
Nah~ segitu aja deh~ saiia mau tidur~ udah jam 00.44~ takutnya besok ngantuk pas jalan santai~ Eehehehe
Mata ashita
~ casiie-HAIKU ~

fanfic cantarella

Saia benci Lucrezia. Banget. Makanya, saiia pengen bikin fic yang bertema ‘how to kill her’. Oh ya, ‘how to kill that f**king-witch’. Pokoknya saiia benci dia. Begitulah. Karena kalau bukan karena Lucrezia, mereka pasti bakal tetep bersama. Apapun yang terjadi, seperti apa yang Cesare minta di buku 3.

X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
The bells
.
Pair : Cesare B. X Chiaro {Michelot}
Genre : romance/hurt
Rate : K
Warning : ada yaoi-nya. Sekarang saya bikin one-sided, tapi fic mendatang saia pasti bikin mereka bersatu.
Don’t like, don’t read.
Silakan klik back sebelum merasa ingin ngeflame. Toh, Anda nggak jadi dosa karena nggak ngeflame, saiia pun nggak bakal nyumpahin kalian *ketauan bejadnya*
Summary : based on the 7th book, first cantarella fic which wrote in Indonesian. Dalam BAHASA INDONESIA!
Cerita saat Cesare datang ke biara Lucrezia dan menemukan Chiaro di sana. Ugh
“speak”
‘Chiaro’s mind’
Cesare’s mind
.
Hope you all have an enjoy read
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Teng ... teng .... teng ....
Suara lonceng terdengar nyaring. Lonceng itu berada di sebuah menara kecil, di atas sebuah biara kecil yang berada agak jauh dari pusat kota Roma. Biara tempat di mana Lucrezia berada, mengasingkan diri.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
“Bagaimana? Sudah ketemu?” tanya seorang biarawati.
“Aneh, deh. Di kapel juga tidak ada,” kata biarawati satunya. “Pergi ke mana, ya, pada saat-saat begini?” lanjutnya.
Seorang biarawati tidak angkat bicara, dia hanya berjalan mengikuti dua biarawati lainnya dengan ekspresi bingung.
Sambil berjalan berkeliling, ketiga biarawati itu terus memanggil-manggil.
“Nona Lucrezia! Nona Lucrezia!”
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Sinar matahari masuk melewati jendela-jendela biara. Cahaya matahari itu menerangi hampir setengah dari bangunan biara yang berada di daerah pedalaman itu.
Tampak di depan altar, seorang pria berdiri menghadap ke arah salib di dinding. Lambang Yesus.
Pria itu menggunakan pakaian serba putih. Rambut hitamnya dikuncir ke belakang, memberi kesan rapi. Posisi berdirinya layaknya seseorang yang seolah ingin berdoa, tapi pria itu sebenarnya hanya berdiri diam, memandangi altar di depannya.
Dari arah pintu masuk, seorang biarawati senior melangkah memasuki ruang biara itu. Ia tampak agak menyesal. Ada juga ekspresi bingung dan bersalah dalam raut wajahnya.
“Maaf. Sekarang kami masih mencarinya. Mohon Tuan menunggu sebentar,” kata sang biarawati pada pria itu.
Pria itu berbalik. Wajahnya yang tampan terbingkai hitam rambutnya tersenyum kecil. Lembut.
“Maaf, ya, aku datang tiba-tiba,” kata pria itu.
Si biarawati senior itu malah merasa tidak enak dengan kerendah-hatian pria itu. Ia berujar, “Ah, tidak. Tidak apa-apa. Kardinal sendiri sampai berkenan datang ke tempat ini....” ucapannya terpotong saat ia menyadari ada beberapa biarawati muda yang mengintip dari pintu untuk menguping percaapan mereka. Atau, untuk melihat siapa pria itu. “Hush! Hush! Eh, pergi sana! Tidak sopan, ya,” katanya pada biarawati-biarawati yang sedang mengintip itu.
Dengan patuh, mereka pergi.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Terdengar teriakan-teriakan memanggil dari halaman. Mereka sepertinya mencari-cari Lucrezia. Sedangkan biarawati-biarawati tadi-yang mengitip dari balik pintu-malah enak-enakan ngobrol.
“Eh, kamu lihat tadi? Tuan Cesare!”
“Iya. Dia Kardinal Valentino, kan?”
“Aku dengar, sih, gosipnya. Cakepnya bukan main, ya?”
“Jangan bicara yang tidak-tidak. Kita harus mencari nona Lucrezia!”
Samar-samar Cesare bisa mendengar kata-kata mereka. Tapi ia tidak peduli pada apa yang mereka ucapkan. Yang penting sekarang, ia harus segera bertemu Lucrezia. Bukan, bukan karena ia merindukannya. Ada hal lain yang harus ia beritahukan pada adik perempuannya itu. Lagipula, ada orang lain yang ia rindukan. Laki-laki lain.
Tak..
Cesare menoleh. Seorang pria paruh baya berjanggut menghampirinya.
“Oh, ini Kardinal Valentino. Ada apa, ya, seorang kardinal sampai datang ke tempat ini sendirian? Padahal, kalau ada apa-apa yang mendadak, kan Tuan bisa menitipkan pesan pada saya,”
“Kamu itu, kalau tidak salah bawahan Paus... yang namany Il Perotto, ya?”
Pria berjanggut itu membungkuk kecil. “Suatu kehormatan bagi saya kalau Tuan ingat,” ia tersenyum licik. Cesare menangkap gelagat itu, tapi tidak menunjukkan ekspresi apapun. “Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada Tuan,”
“Ohh,” Cesare hanya menatap pria itu tanpa ekspresi.
“Sebenarnya .....” dan pria bernama Il Perotto itu pun memberitahukan apa yang ia ketahui.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
“Nah, aku pergi dulu,” kata Chiaro.
Ia mencium (cassie-HAIKU : ueeekk) Lucrezia.
“Chiaro, cepat! Di luar sepertinya lagi ribut-ribut,” kata Pantasilia.
Chiaro melepaskan ciumannya. “Chiaro ...” bisik Lucezia.
“Sudah kubilang jangan berwajah seperti itu,” kata Chiaro saat melihat ekspresi Lucrezia yang tidak ingin ditinggalkan.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Kenapa, ya, dadaku tertekan? Rasanya begitu sesak...
Cesare berjalan. Tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanannya yang telah berubah menjadi seperti tangan iblis.
Makin dekat, gejolak di dada ini semakin hebat. Perasaan ini ....
Ia semakin dekat dengan gubuk itu. Gubuk itu berada tidak jauh dari sebuah pohon ek, dengan semak-semak yang mengelilingi dindingnya.
Alunan perasaan yang rasanya nyaman dan tersasa sagat akrab ini ...
Dia memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing.
Semakin mendekti gubuk yang dikatakan laki-laki itu, aku menjadi yakin sekali dan pikiranku menjadi sangat jelas.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Sementara itu, di dalam gubuk itu...
“Kalau kamu ingin menemuiku, aku akan pergi sampai ke manapun juga,” kata Chiaro. Ia melangkah meninggalkan gubuk itu. Tapi ternyata (cassie-HAIKU : SEBEEL!!!!) Lucrezia berlari ke arahnya, dan memeluknya.
“Lucrezia...”
Lucrezia menggeleng. “Kumohon, Chiaro. Bawalah aku....” (cassie-HAIKU : emangnya tas?!)
Pikiranku menjadi sangat jelas...
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Mata Lucrezia membulat. Sosok itu muncul dari balik pintu. Bahkan Pantasilia pun terlihat ketakutan. Takut padanya. Dan entah sejak kapan, Lucrezia berdiri di belakang Chiaro.
Sosok yang begitu tampan. Kulitnya bagaikan porselen, dengan wajah yang dibingkai rambut hitam. Rambutnya yang cukup panjang itu tidak tergerai seperti biasanya. Seperti saat Chiaro masih bersamanya. [1]
Kardinal Cesare Borgia.
Ekspresi kaget terpeta jelas di wajah Chiaro. Berbeda dengan Lucrezia, yang entah kenapa merasa takut –juga kaget, tentu saja.
“Ka..kak,”
Cesare menatap mereka dengan pandangan tajam, menusuk. Pandangan yang sekaligus mengutarakan kebencian, kemarahan. Dan kekecewaan.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Lucrezia?” Mata Cesare tak terlihat, karena tertutup oleh sedikit rambutnya depannya yang tidak terikat.
“Kakak... aku!” ucapan Lucrezia dipotong Cesare.
“Pantasilia, nanti saja kutanya penjelasannya. Kamu siapkan saja barang-barang Lucrezia,”
“I..iya,” kata Pantasilia.
Cesare melanjutkan. “Dalam rangka pembatalan pernikahanmu dengan Giovanni Sforza secara resmi, maka pengambilan sumpahmu harus dilakukan di depan para utusan dari setiap negara. Calon suami yang berikutnya sudah ditetapkan. Karena itu, pengambilan sumpahnya harus dilakukan secepat mungkin,”
Mendengar itu, Lucrezia merasa dunianya runtuh (cassie-HAIKU : RASAIN!!!!)
“Calon..berikutnya..sudah??” kata Lucrezia terbata-bata.
Sambil menutup mata, Cesare berkata, “Sepertinya kamu agak manja,”
“Orang ini... “ Lucrezia memandang Chiaro. “Chiaro tidak bersalah! Aku ...” lagi-lagi, ucapannya terpotong (cassie-HAIKU : kenapa gak nyawa loe aja yang terpotong, sih?! *MURKA*)
“Pantasilia, bawa Lucrezia!” perintah Cesare.
Pantasilia, meski dengan berat hati, memaksa Lucrezia keluar dari gubuk itu.
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
“Jelaskan apa maksudmu!”
“Sekarang aku sedang bingung kenapa kamu ada di sini, Chiaro?”
Chiaro menatap Cesare sedetik, sebelum menjawab, “Setelah kejadian itu, karena melarikan diri dari orang-orang yang mengejarku aku ... lari ke sini. Karena mengalami luka parah dan dalam kondisi setengah tak sadar, aku tidak tahu kalau ini biara tempat Lucrezia,”
“Luka parah?!” Cesare kaget mendengar hal itu.
“Aah, saat itu Juan hanya tak sadarkan diri. Lalu, dia menyerangku dengan segenap tenaganya,” Chiaro terdiam sebentar. “Hanya ini yang harus kukatakan padamu terlebih dahulu ... Kamu sama sekali tidak perlu merasa tersiksa karena kematiannya,”
Cesare mendengus pelan. Aku justru tersiksa karena kau tidak ada, baka. Mungkin seperti itulah seorang raja. Apa yang diperlihatkannya mungkin saja berbeda dengan perasaan sesungguhnya. Cesare tertawa.
“Cesare?” tanya Chiaro, tidak mengerti.
“Sampai saat ini, kamu masih benar-benar dirimu, ya?” Cesare memandang ke arah Chiaro. Seperjuta detik, matanya menampakkan ekspresi lembut, kerinduan yang dalam. “Perasaan tersiksa? Hal seperti itu, sih, sejak dilahirkan aku tidak punya, tuh,” Ia memberikan pandangan merendahkan. “Tak ada gunanya repot-repot,”
“Begitu, ya?” kata Chiaro. Ekspresinya miris, seolah merasakan kepedihan yang bahkan tidak ia mengerti. ‘Entah kenapa, aku merasa sesak’
Cesare tahu ekspresi itu. Tapi, ia tidak bisa menunggu. Ia harus tahu apa yang terjadi selama Chiaro tidak bersamanya. Selama Chiaro menghilang. “Lanjutkan!”
“Tubuhku terasa melayang. Ah, waktu itu, kupikir apa ini yang namanya mati? Saat itu, aku benar-benar sudah bersiap-siap. Waktu itu, yang menyelamatkanku Lucrezia. Dengan gerakan tangan tidak biasa, dia berusaha sekuat tenaga merawatku,” Chiaro tersenyum. “Dia itu..seperti malaikat ya?” [2]
“Karena itu, kamu tertarik padanya?” kata Cesare, lemah. Benar-benar sebuah epik dari jeritan hati.
Alis Chiaro menaut satu sama lain, menandakan ia merasa kesal. “Lucrezia menangis karena menyukaimu. Dia menderita karena mencintaimu. Merasa sesak karena siksaan yang bagaikan neraka tak berujung. Kamu juga pasti tahu, kalau dia..”
Cesare mengangkat tangak kirinya, menghentikan semua ucapan Chiaro. Kau tahu bagaimana tersiksanya dia tapi kau tidak tahu bagaimana tersiksanya aku karenamu!
“Kenapa ? Apa kamu bisa melakukannya? Aku... ingin menghiburnya. Aku..menyukai Lucrezia. Seandainya aku bisa membuat perasaannya sedikit lebih enak. Karena itu, aku memeluknya. Untuk membuatnya melupakanmu! Aku tidak akan membela diri. Kalau kamu ingin menghukumku, akan kuterima,” kata Chiaro. Ekspresinya serius.
Hening.
“Apa kamu..mencintai...Lucrezia?” tanya Cesare. Mungkin faktor tidak-ingin-tahu-jawabanmu membuat suara terputus-putus. Atau karena menanyakan itu sama dengan bunuh diri?
Hening.
Di antara hembusan angin yang menerbangkan dedaunan, Chiaro menjawab, “Aku mencintainya,”
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Cesare memandang Chiaro. “Kebaikan hatimu itu terkadang alat pembunuh yang paling berbahaya,” yakinnya, lebih pada dirinya sendiri. “Kamu itu memeluk Lucrezia karena perasaan simpati!” nada suaranya naik satu oktaf.
“Bukan!” Chiaro membantah. Keras.
“Apa kamu yakin?!” balas Cesare.
Chiaro terdiam. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya.
“Fuh! Kalau begini jadinya, coba waktu itu aku memeluknya seperti apa yang dia inginkan, ya? Dengan begitu...” kata-kata Cesare menggantung. Ia berdiri tegak, menatap lurus ke dalam mata Chiaro.
“Cesare, apa yang yang akan kau ....” dan pertanyaan Chiaro itu tak akan pernah ia lanjutkan.
Cesare mendorongnya ke dinding. Dalam kekagetannya, Chiaro tidak bisa berbuat banyak. Tangan kiri Cesare menahan tangan kanannya, dan tubuh Cesae sendiri yang menahan tubuhnya.
Cesare menciumnya. [3]
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Dalam. Menuntut.
Sayangnya, ciuman itu hanya berlangsung singkat.
“Jangan melawan!” sembur Cesare. Ia berusaha menahan tubuh Chiaro agar tetap merapat ke dinding. Tapi pria pirang itu melawan dan sedikit meronta.
“Apa yang kamu lakukan?! Jangan bercanda..” Protes Chiaro terpotong, karena Cesare sudah membungkamnya lagi dengan ciuman. “Mm... uhh...”
‘Sial! Apa yang dia lakukan?! Bagaimana mungkin dia bisa bercanda dalam keadaan seperti ini? Apa ini...tidak mungkin! Jangan melawan?! Atau ini..dia sedang menghukumku? Apa ini hukumannya untukku? Tapi kenapa begini? Kenapa..’
Bahkan inner-nya pun terpotong, saat sadar lidah Cesare mendorong-dorong bibirnya, membuat celah agar bisa masuk. ‘Sial!’
Lidah Cesare berhasil masuk ke dalam mulut Chiaro, dan bermain-main di sana. “UNGH!!”
‘HENTIKAN!’ batin Chiaro. [4]
DUKK....
Sebelum lebih jauh lagi, Chiaro memukul Cesare, menghentikan ciuman (panas) mereka dan menyelamatkan rating fic ini untuk tetap K. Kalo lebih lanjut, author gak bakal kuat nulisin lemonnya!!!
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
“Apa sih?! Jangan bercanda di saat-saat seperti ini, dong!” kata Chiaro. Jarak mereka sudah tidak seintim tadi, karena Cesare yang agak terhuyung akibat pukulan telak Chiaro.
“Benar sekali, kenapa?!” Cesare menyangga kepalanya dengan tangan kanannya, bagian tubuhnya yang telah termakan iblis. Ia berpikir keras, merasa bingung dan lemah sekaligus. Benar-benar tanpa pertahanan.
“?! Kenapa ... tanganmu itu? Apa lebih parah dari yang dulu? Coba lihat!” Chiaro berusaha menyentuh tangan Cesare, tape segera ditepis.
“Jangan sentuh aku!” suara Cesare bergetar. “Aku saja tidak tahu...kenapa kamu? Kenapa harus kamu?!” ia memeluk dirinya sendiri.
Dalam keterkejutannya, Chiaro hanya bisa diam. Apalagi, saat Cesare mengangkat wajahnya, ada bulir-bulir air mata yang mengalir di pipinya.
Cesare berbalik, menghapus air mata di wajahnya. Setelah beberapa detik, ia berhasil mengembalikan suaranya pada nada yang sesuai.
“Kamu tahu posisimu, kan? Kamu telah menculik putri paus. Perkaranya tidak akan berakhir begitu saja. Meskipun aku tidak melaporkannya langsung, sebentar lagi juga akan kedengaran oleh paus. Sebelum kamu dikejar-kejar...”
Baik Chiaro maupun Cesare tahu kata apa yang menggantung itu. Dan both of them, tidak ingin mendengarnya.
“...pergilah, tinggalkan Roma!”
“!?”
“Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!”
Dan dengan itu, sang Kardinal pergi meninggalkan gubuk itu.
“Cesare!”
‘Percuma. Kau telah menghancurkannya. Kau telah mengkhianatinya. Kau memang bodoh, Chiaro!’
X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.X.
Teng .... teng .....
Lonceng itu berbunyi lagi.
Sebagi pertanda apa?
Apakah menunjukkan dua hati yang terluka? Atau hanya menyemarakkan suasana senja di antara hati yang kesepian?
.
.
.
.
FIN ??

a/n : [1] bener deh, coba baca Cantarella dari buku satu ampe buku 10, buktiin, pasti deh, Cesare mulai mengikat rambutnya sejak Chiaro nggak berada di sisinya.
[2] malaikat yang datang untuk menghancurkan sesosok malaikat lain, yang bahkan sudah hancur sejak takdirnya ditentukan. Saiia akui Lucrezia nggak jelek. Tapi bukan berarti dia cakep. Bukan berarti dia good looking juga. Buktinya saiia ngerasa pengen muntah liat dia *karena adanya dendam kesumat pribadi*
[3] Saya paling suka adegan itu !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
[4] kenapa Chiaro minta berhenti?! Bukannya dia sendiri yang bilang bakal nerima hukuman kaya apapun dari Cesare? Kalo gitu, itulah (sweet) punishment dari Tuannya itu. Dasar! Padahal lagi panas-panasnya tuh!
BTW, saiia nggak peduli sama Lucrezia fans. Yang jelas, saiia dengan keras, lantang dan jelas mendeklarasikan kalau saiia, cassie-HAIKU, salah satu author di FFN adalah Lucrezia-hater. Bagi yang merasa tersinggung, silakan lewat review, atau PM. Atau lewat email saia juga bisa, di raitodess@ymail.com. Oh, atau lewat blog saia, di fuzylazydizzy.blogspot.com. silakan. Hanya saja saiia ga punya fb. Hehe. Tambahan, saia juga SakuraHaruno-hater (tapi nggak selalu, tergantung gimana kelakuannya)
.
Salam damai,
cassie-HAIKU

fanfic DeathNote

Hm....
Saiia lagi ingin bergajeness ria....
Jadina.... *sok imut* akyu pengenna bikin cecuatu yang agak aucis....
Yah, entah kenapa ini jadinya autis gak jelas. Btw, ini humor, kok! Gak serius. Cuma ya, agak serius dikit di sedikit bagian. Keseriusan dalam fic saiia hanyalah figuran (??)
No pairing, sorry. Ini klop Cuma L dan hasil tesnya. Positifkah? Oh! L hamil? Anak siapa? *ngaco*
Nyahaha.. sarap saiia kumat. So, let’s go! *hiking kalee*
Yah, have a nice reading ya!!
-o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o-
Test result
Chara : L Lawliet
Genre : Humor/Gaje
Rate : tenang~ ini bukan TTM, alias awal-awal T naik jadi M~ Rate fic ini pure T [teen] alias 13+ *setahu saiia 13- dilarang baca fic deh*
Warning : gaje. Pendek, nggak penting, tidak menerima api *di kamus flame artinya api lho~* OOC
Disclaimer : © Takeshi Obata and Tsugumi Ohba, yang mencipta karya luar biasa nan mempesona
Summary : L mengikuti sebuah tes psikologi. Tes ini menunjukkan bagaimana keadaan psikologisnya, dan juga memberikan hasil mengenai IQ dan EQ-nya. Bagaimana hasilnya? Benarkah IQ Sang L melebihi 200?
-o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o--o-0-o-
.
L baru saja akan memasukkan sebuah donat berukuran jumbo ke dalam rongga mulutnya saat Watari datang membawa sepucuk surat. Surat itu dilapisi amplop coklat, tipis. Watari menyerahkannya pada L, lalu pergi entah ke mana.
L mengambil surat itu dengan dua jari tangan kirinya –telunjuk dan ibu jari- sementara jemari tangannya yang lain sibuk memasukkan donat ke dalam mulutnya.
“Apa itu, Ryuuzaki?” tanya Light. Ia baru saja masuk ke dalam markas. Well, settingnya adalah saat Light kehilangan ingatan. Hehe~
“Surat, Light-kun,”
“Aku tahu. Maksudku-”
“Di dalam surat ini tertera hasil tes psikologiku,”
Light hanya ber’ohh’ria, lalu duduk di kursi sebelah L. L memandang Light, lalu membuka bagian atas amplopnya. Ia mengeluarkan secarik kertas tipis, yang terlipat menjadi 4 bagian.
“Bagaimana isinya, Ryuuzaki?”
L hampir membuka mulutnya, sampai ia melihat sebuah kata dalam kotak yang ada di pojok kanan atas kertas itu.
RAHASIA
Sebentuk kata itu menanggalkan kata yang hendak dibuat L, dan sebagai gantinya, ia meminta Light keluar ruangan. “Sebentar saja, Light-kun. Saya perlu sedikit waktu untuk sendiri,”
Meski penasaran, Light mau juga keluar dari ruang markas itu.
Memastikan Light telah keluar, dan hanya dirinya dengan sepucuk surat itu, L membaca hasil tes psikologinya.

HASIL PEMERIKSAAN DATA PSIKOLOGI
Nama : Ryuuzaki
Tanggal pemeriksaan : 2 hari sebelum hari kematian L di komik DeathNote
Kecerdasan
1 Intelegensi/IQ : Genius (206)
Bakat
2 Bakat dalam bidang angka : Tinggi sekali (97)
3 Bakat berpikir abstrak : Tinggi sekali (97)
4 Bakat dalam bahasa dan tata bahasa : Tinggi (80)
5 Bakat dalam relasi ruang : Tinggi (80)
6 Bakat dalam teknik mekanik : Tinggi (79)
Kepribadian
7 Motivasi berprestasi : Tinggi sekali (95)
8 Mentaati aturan dan disiplin : Tinggi sekali (97)
9 Bekerja secara teratur : Rendah sekali (5)
10 Menonjol dan unggul diri : Tinggi sekali (96)
11 Mandiri, tanggung jawab : Tinggi sekali (80)
12 Bekerja sama dengan orang lain : Sedang (53)
13 Melibatkan diri dengan orang lain : Rendah sekali (1)
14 Mendapat bantuan orang lain : Rendah (25)
15 Menguasai teman dan orang lain : Tinggi sekali (81)
16 Kebiasaan mengalah : Rendah sekali (0)
17 Menyenangkan orang lain : Rendah sekali (16)
18 Mengadakan perubahan : Tinggi sekali (95)
19 Tahan menghadapi dan mengatasi rintangan : Tinggi sekali (85)
20 Hubungan dengan lawan jenis : Rendah sekali (1)
21 Menyerang pendapat orang lain : Tinggi sekali (93)
Minat khusus
22 Minat outdoor : Sedang (45)
23 Minat scientific : Tinggi sekali (96)
24 Minat artistic : Rendah (40)
25 Minat literary : Tinggi (79)
26 Minat musical : Sedang (58)
27 Minat social service : Tinggi (80)
Kecerdasan emosional
28 Kecerdasan emosional : Rendah sekali (4)

.
Setelah membaca hasil tesnya, Ryuuzaki kembali berkutat dengan berkas-berkas kasus, dan tidak membiarkan bayang-bayang angka-angka itu menghantuinya~~~~

~~~~~ (FIN) ~~~~~
A/N : ide ini muncul begitu saja saat saya membenarkan letak hasil tes IQ saia di dalam map-dokumen-penting-kayak-rapot-dan-piagam. Hmmm, saiia berusaha memvonis L semirip mungkin dengan dia-nya yang asli. Tapi rasanya ada yang nggak nyambung *pusing* nilai intelegensi antara L dan saia nggak jauh beda! Cuma beda 100 angka, kok!! *ketauan idiotnya* hmm, yang persis sama antara L dan saiia *karena nilai-nilai saiia juga berpengaruh pada hasil punya L* hmm, nomor 2,3,4,5,28,7,9,13,22,24
Hehe. Ada juga bagusnya saiia *agak bangga sama diri sendiri* ternyata saiia nggak bego-bego amat
Maunya saia dengan bejadnya membuat ketertarikannya dengan lawan jenis nol, tapi karena saia dari awal wanti-wanti buat bikin fic non-pairing(yaoi), jadi saia kasih aja poin 1. Gitu deh~
L : curhat colongan
cH : biarin, week. Yang penting nilai hubungan dengan lawan jenis ku lebih tinggi 30 point dibanding kamu
L : hn...
Light : L, yaoian yuk~~
L : ayo ajah
cH : eh, ikuuuut~
.
Mind to review?

fanfic naruto

LEMON
--- asem ---
Naruto memposisikan dirinya senyaman mungkin. Ia tidak mau merasa sakit, atau menyakiti. Jadi, ia menggerakkan dirinya pelan-pelan, toh mereka tidak sedang dikejar waktu. Santai dan rileks. Nikmati semuanya. Ia mulai bergerak seiring nafasnya. Diputar-putar, agar terkuras lebih banyak. Ia menekan-nekan hingga cairan itu keluar lebih banyak. Lebih banyak yang ia dapat, lebih baik.
Ia sedikit terengah, tapi itu wajar. Mungkin kegiatan yang sudah dilakukannya sejak pagi itu memang melelahkan bagi sebagian orang. Tapi ia menjalaninya dengan santai. Toh itu memang pekerjaannya. Ia memekik kecil saat cairan itu menciprat ke matanya, yang membuatnya harus menghentikan aktivitasnya dan menarik tangannya untuk meraba-raba mencari tissu.
Partnernya, si pemuda pantat ayam, membenarkan posisinya, dan mengambil selembar tissu lalu memberikannya pada Naruto.
“Thanks,”
“Hn,”
Setelah membersihkan matanya, akhirnya Naruto kembali beraktivitas. Ia memutar-mutar lagi, lalu menekan-nekan hingga rasanya sesuatu di tangannya sudah tipis.
“Ah, harus ganti,” katanya, seraya mengambil sesuatu dari kotak di sebelahnya. Ia memilih-milih, kira-kira mana yang terlihat meyakinkan.
Sasuke mendongak, lalu menunjuk sesuatu itu. “Hn, yang itu sepertinya boleh juga,”
Naruto melihat arah jari Sasuke, lalu mengambil sesuatu itu. Ia menimbang-nimbang, apakah itu cukup bagus atau tidak. “Cepat, Dobe!”
Tidak punya pilihan, Naruto segera membelah benda itu menjadi dua, lalu mulai meletakkannya di tempat seharusnya. Ia mulai memijit-mijit pelan, kemudian dipercepat dan akhirnya ia memutar-mutarnya, lalu menekan-nekan lagi. Cairan yang keluar cukup banyak, membuat Naruto puas. Sasuke sepertinya juga puas, tapi tetap memasang wajah stoic andalannya.
Naruto melihat cairan itu antusias, lalu sedikit mencicipinya. Ia mengernyit, namun akhirnya ia menyesap lebih banyak dan menelannya. Sasuke menaikkan alisnya, merasa harus mendapat bagian.
“Dobe,” panggilnya.
Naruto mengerti dan memberikan Sasuke sedikit cairan itu. Sasuke menyesapnya, lalu menautkan kedua alis hitamnya. “Ini terlalu asam, Dobe,”
“A..” Naruto ingin menyangkal, tapi tidak jadi. Toh rasanya memang asam. Ia menunduk, kesal pada dirinya sendiri.
“Yang kemarin jauh lebih enak,”
“Aku tahu,” kata Naruto. Ia mengangkat kepalanya, menatap Sasuke lekat-lekat. “Jadi, bagaimana?”
Sasuke berujar lancar, “Enam,”
Perlu beberapa detik bagi Naruto untuk mengerti ini, sebelum akhirnya ia berteriak. “TEME! Kenapa hanya enam?”
Sasuke menutup telinganya dengan telunjuk, sebelum menjawab, “Kau tahu rasanya asam, DOBE!”
Tapi Naruto tidak peduli fakta itu. Ia malah tambah kesal, dan mencak-mencak sendiri.
“Dobe! Kau berisik sekali,”
“Ya, ya. Tapi kenapa tidak berhasil? Menurutku itu sudah benar. Ah, iya! Pasti karena yang terakhir itu! Sasuke, pilihanmu salah!”
Urat kesal kini numpang di dahi Sasuke. “Dobe, memang komposisinya yang salah!”
“Tidak mungkin! Aku merancangnya sendiri!” kata Naruto, setengah histeris. Ia berjalan mondar-mandiri, lalu melihat resep yang tertulis di kertas. Ia menjunjuk-nunjuk bahan-bahan apa saja yang ia tulis kemarin, dan ia menepuk dahinya saat melihat ada sebuah benda yang lupa sama sekali ia masukkan.
“Teme, bukan resepku yang salah,” ia nyengir. “Ternyata aku lupa menambahkan madu,”
Dan kalimat itu sukses membuat Sasuke melempar bantalnya ke wajah Naruto. Dan kena telak!!
“Ugh! Sakit, Teme!”
“Lebih sakit mana denganku yang sedang flu dan diganggu makhluk pirang sepertimu?” kata Sasuke. Suaranya menggelegar, kesal.
“Ehehe, maaf, Sasu’chan. Aku hanya ingin melakukan sesuatu agar kau cepat sembuh. Lagipula, lemon baik untuk kesehatan. Ada banyak vitamin C,” bela Naruto.
“Huh! Usuratonkachi,”
Sasuke menarik selimutnya, lalu meletakkan kepalanya di atas bantal.
“Ya, sudah. Selamat istirahat, ya! Cepat sembuh!” kata Naruto, berjalan pergi.
Sebelum ia mencapai pintu, Sasuke memanggilnya. “Kenapa?”
“Lain kali jangan lupa madunya,”
Naruto tersenyum. “Siap, Tuan!” katanya sambil menghormat layaknya militer. Ia pun berjalan pulang sambil menyusun resep untuk minuman berkhasiat lainnya.
FIN

fanfic deathnote

Saia bikin semacam biodata kecil-kecilan ala DN charas. Hehe. Pas bikin di word, saia pake background Mello~ uhhh so sweet~ Saiia harap ini cukup sederhana, sehingga bisa disebut fluff. Um, saiia crossrover sama Naruto~ Oke? Let’s read!! ~sparkle~
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
DnN chara’s (hide) bio
Pair : yaoi semua, al: Lraito, MattMello, Narusasu
Genre : romance/(sedikit)humor
Rate : Teh (13+)
Warning : sesuai tokohnya, fic ini berisi yaoi!!! Yang nggak suka, pergi aja! Yang suka, baca en review! Okeh? Ah, warning lain : gajeness, out of mind, dan yang paling parah, suka-suka author! Bagi yang nggak suka yaoi humor, silakan~ mau pergi ato apa~ dosa ditanggung pembaca, authornya udah ke neraka (??)
Disclaimer : DeathNote © Tsugumi Ohba ‘n Takeshi Obata
Naruto © Masashi Kishimoto
Fic ini © otak author
.
.
.
Suatu pagi di desa fanfiction, tersebutlah dua kelompok anime/manga yang cukup terkenal di dunia, yaitu kelompok DeathNote dan kelompok Naruto. Para tokoh hidup dengan damai, apalagi, bagi anime/manga yang ceritanya sudah tamat, nasib semua tokoh sudah ketahuan. Bagi anime/manga yang belum tamat, mereka merasa agak was-was dengan nasib mereka yang asli. Yah nasib mereka di fanfiction, sudah tidak bisa diharapkan lagi. Ada banyak badai, badai yaoi, badai yuuri, dan yang paling mengguncang, adalah badai pasangan straight (??)
Untuk mengatasi badai itu, maka para Dewa di langit mengutus sesosok makhluk yang memiliki sifat amat gak karuan, padahal amat aja karuan, demi menyelesaikan permasalahan~
Dan, diutuslah sesosok makhluk dari dasar neraka. Matanya coklat gelap, saat malam terlihat hitam karena gak punya lampu. Rambutnya berwarna coklat, maunya di-highight merah, tapi karena masih SMA, belum boleh. Wajahnya enak dilihat, namun tidak enak dimakan. Tubuhnya tinggi, kakinya jenjang. Cewek ataupun cowok senang melihatnya. Dia begitu tampan, dan memiliki senyum manis.
Dialah Sang OOC kita, CASH !!!
Bletak!! Oke, cerita sebenarnya~
Cash- adalah sesosok makhluk yang datang dari dasar neraka akibat perintah dewa-dewa di langit. Dewa-dewa itu ingin memastikan apa benar kabar burung dan fic-fic yang beredar di internet bahwa ada banyak chara di dunia anime/manga yang beryaoi ataupun beryuuri. Maka, diutuslah si Cash ini, datang ke fanfiction untuk menyelidiki. Karena memang dasarnya si Cash malas, apalagi dia suka dengan bishi (dan dia sendiri yaoi) maka untuk mempermudah pekerjaannya, ia pun menyebarkan angket untuk diisi biodata oleh beberapa cowok ganteng. Nah, mari kita lihat, hasil dari angket itu!
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
Di fandom DeathNote~
“Oi Matt! Mana coklatku?” teriak Mello. Ia sedang berada di sebuah kamar hotel bintang tujuh (kayak obat sakit kepala) di Jepang. Dengan alih-alih di Whammy dulu mereka sekamar, Cash memberinya jatah sekamar dengan Matt.
Matt, yang sedari tadi bermain Resident Evil, mempause gamenya, lalu melempar Mello dengan sebuah tas besar berisi coklat aneka merk-yang-pasti-mahal, lalu me-resume gamenya lagi.
Mello mengambil tas itu –yang jatuh ke lantai padahal sebelumnya mengenai wajahnya- dan membukanya. Ia mengambil sebuah coklat batangan, lalu membuka kulitnya dan memakan kulitnya. Er, maaf, maksudnya, makan coklatnya. Sementara Mello asyik ngemut coklat dan Matt main game, dua lembar kertas melayang dari arah jendela, terhempas angin dan menamplok masing-masing muka mereka.
“Huwa! Siapa yang matiin lampu? Gue tembak dia! Coklat gue!” teriak Mello panik.
“Huwa! Siapa yang matiin lampu? Resident Evil gue kalah dong!!” teriak Matt.
Well, meskipun nggak rela gelap-gelapan dengan alasan yang beda, mereka tetep teriak dengan gaya yang sama, ‘kan? Jahil Cash. Lalu, beberapa saat setelah mereka berdua ngumpat-ngumpat nggak jelas, mereka sadar kalo bukan lampunya yang mati, tapi ada sesuatu yang namplok muka mereka. Jadilah, mereka lega dan membaca isi kertas itu.
“Isi sesuai identitas kalian!” kata Mello, membaca suruhan di lembar kertas itu.
“Harus jujur. Jangan mengulang membaca, usahakan jawab dari dasar hati nurani!” kata Matt, yang membaca suruhan kedua.
Matt dan Mello saling pandang, lalu mereka mengisi kuisioner itu dengan patuh.
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
Di kamar sebelah, ada Raito Yagami dan L yang sedang duduk berdua di satu sofa. Karena masing-masing salah satu tangan mereka diborgol satu-sama lain, jadinya mereka tidak bisa jauh-jauh. Alhasil, mereka pun dijadikan satu kamar. Wow! Alasan yang (agak) masuk akal.
Nah, di sofa itu, L duduk dengan pose kebanggaannya. Duduk gaya jongkok! Dan Raito, yang merasa seorang gentlewati, maaf, maksudnya, gentleman sejati, duduk dengan menaikkan salah satu pahanya di atas paha lain. Yah, gaya duduk cewek Indonesia.
Mereka duduk-duduk dengan posisi masing-masing, dan melakukan aktivitas masing-masing, dengan pikiran masing-masing, dengan tubuh masing-masing, dan pakaian masing-masing. *author dibakar*
L sedang mengaduk secangkir kopi manissss dengan menggunakan sebuah lolipop coklat. Sedangkan Raito sedang membaca berkas-berkas Kira, untuk mencari celah mana yang bisa ia manipulasi sedemikian rupa sehingga nilai x kurang atau sama dengan nol persen, x elemen bilangan riil. Hehe~ maksudnya, maunya dia manipulasi sedikit supaya persentase dia adalah Kira itu menjadi nol persen. Nah, nol kan termasuk elemen bilangan riil toh?
Semasa mereka serius berpikir (apa sih yang dipikirin L waktu ngaduk-ngaduk kopi?) terbanglah dua lembar kertas kuisioner. Mengingat adanya kejadian tidak elit di kamar sebelah, maka dari itu Cash memutuskan menjatuhkan kertas itu di atas pangkuan masing-masing cowok itu. Kalo jatuh di atas pangkuan Raito mah mulus, nah, masalahnya, pangkuannya L kan terlipat, gara-gara gaya duduknya yang jongkok itu, makanya pahanya menempel dengan perut. Susah buat jatuh di pangkuannya. Makanya, kertas itu dijatuhkan di atas kepala L aja, deh~
“Eh? Ada kertas kuisioner,” kata Raito. Ia mengambil kertas itu, lalu membacanya. “Isi sesuai yang diminta sejujur-jujurnya, jangan biarkan orang di sebelah Anda tahu apa jawaban Anda,” katanya, membaca suruhan di kuisioner itu.
Sementara itu, L yang merasa tidak mendapat jatah kuisioner, protes. “Kenapa Raito-kun dapat tapi saya tidak?”
Raito melihat ke arah L, lalu menunjuk atas kepalanya. L mengambil kuisioner di atas kepalanya, lalu mendapati suruhannya sama dengan yang dibaca Raito. Mereka saling melempar pandangan sedetik, sebelum menjauh sejauh 2 meter *itu panjang rantai mereka* lalu berusaha mengisi kuisioner dengan pose siap membunuh kalau ada yang menyontek.
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
Di fandom Naruto
Seorang bocah berambut pirang sedang duduk di balkon apartemennya, memandangi langit sore yang kemerahan. Sedangkan, di dalam kamarnya, tepatnya, di dapur yang menjadi satu dengan kamar Naruto, seorang pemuda berambut hitam jabrik dengan bagian belakang rambut bergaya seperti pantat ayam, sedang membereskan mangkuk-mangkuk ramen instan yang berserakan di mana-mana.
“Oi, Dobe! Bantu, dong! Ini sampah ramenmu!” teriak pemuda berkulit putih tapi berbadan krempeng itu. Uchiha Sasuke.
“Hh,” balas Naruto. Sasuke tertegun. Biasanya, kalau Naruto dipanggi Dobe, ia pasti balas memanggil Teme. Apalagi, jawbaanna tadi hanya ‘hh’, biasanya yang menjawab sekenanya dengan ‘hn’ kan Sasuke?!
“Oi, Dobe! Dengkulmu terbentur, ya?”
“Nggak,”
Aneh, ‘kan? Biasanya, kalau ada yang berbeda dengan orang yang kita kenal, kita akan bertanya apa kepalanya terbentur. Lalu kenapa Sasuke bertanya apa dengkul Naruto yang terbentur? ‘Karena dia berpikir memakai dengkul’ pikir Sasuke mantap. Sebuah kunai melayang melewati pipi mulus Sasuke, menancap kuat ke dinding tepat 1 milimeter dari wajah Sasuke.
“Oi, Dobe! Aku ‘kan hanya bercanda!” teriaknya kaget. Eh, Uchiha bisa kaget? Ah, suka-suka author~
“Memangnya ada apa?” kata Naruto. Sasuke cengok sendiri. Lalu, ia menunjuk ke arah dinding, di mana terdapat sebuah kunai lengkap dengan surat tantangan. Eh, tunggu dulu. Surat tantangan?
Sasuke mengambil surat yang terikat di pegangan kunai itu. Ia membacanya, lalu menyerahkan selembarnya ke arah Naruto.
“Tuh ada surat tantangan,”
Naruto mengambil selembar kertas, dan membacanya, “Isi kuisioner ini dengan benar. Kalau menang, dapat hadiah menarik dari author!” Sesaat mereka diam, saling pandang, lalu terjadi pertarungan sengit.
“Rasengan!”
“Chidori!”
Tepat saat kedua elemen itu hampir bertemu (maksudnya sebelum terjadi kehancuran akibat dua elemen yang saling bertentangan) datanglah Cash sang OOC. Ia berdiri di tengah-tengah kedua ninja genin itu, dan bergaya sok keren layaknya Kakashi di Naruto season 3, waktu Sasuke nantang Naruto bertarung di atap rumah sakit.
“Weitz! Tunggu dulu! Kan surat tantangannya nyuruh kalian jawab pertanyaan, kenapa bertarung?”
Sasuke dan Naruto berpandangan, lalu menjawab bersamaan. “Ngaak tahu,” dengan polos, plus tampang (nyaris) tanpa dosa.
“Jyah!! Trus, kenapa bertarung?!”
“Tanya aja sama authornya!” kata Naruto. Cash melihat Sasuke, dan cuma dibales dengan ‘hn’.
“Ya sudah. Jawab tuh, kuisioner. Yang menang bakal dikasi hadiah menarik dari author,” dan Cash menghilang.
“Wow! Datang tak dijemput, pulang tak diantar!” kata Naruto.
“Tepatnya, dia datang tak diundang, pulang nggak bilang-bilang. Main pergi aja. Padahal mau kuajak bersihin sampah ramen ini bareng,” kata Sasuke.
“Eh, hadiahnya apa, ya?”
“Kerjakan saja. Tapi, pasti aku yang menang, Dobe,”
“Heh, Teme. Aku lebih hebat darimu!”
Dan begitulah. Author sendiri gak tahu kenapa kuisioner mereka akhirnya bisa terisi, mengingat pertarungan dahsyat mereka.
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
Cash tiba-tiba muncul di hadapan readers! Hehe~ kaget nggak? Nggak, ‘kan? Kalo iya, Anda perlu periksa ke dokter mata!
Nah, Cash ini sedang membawa kertas-kertas hasil kuisioner pairing yaoi kita kali ini~
Nah, minna-chan, ini hasilnya~
--- ©©© --- xxx --- o0o --- xxx --- ©©© ---
Name : Mello
Likes : Matt
Dislikes : Kira
Fave thing : COKLAT!!
.
Name : Matt
Likes : Mello
Dislikes : kalah maen game
Fave thing : PSP
.
Name : L
Likes : Raito
Dislikes : crime
Fave thing : sweet food
.
Name : Raito Yagami
Likes : L
Dislikes : unfair
Fave thing : DeathNote
.
Name : Uzumaki Naruto
Likes : Sasu-teme
Dislikes : Akatsuki, Orochimaru
Fave thing : RAMEN
.
Name : Uchiha Sasuke
Likes : Dobe
Dislikes : baka‘tachi
Fave thing : kekuatan
.
setelah membaca hasil kuisioner itu, maka Cash kembali ke alamnya untuk melapor. Hehe~

KELAR FIN

Nah, gimana? Pendek? Hehe~ ini Cuma iseng, jadi jangan diambil hati. Inget review. Baca fic tanpa review? Apa kata dunia? Hehe. Saia bikin ini terinspirasi sama gambar Mello yang bergaya santai, trus di pojok kiri bawahnya ada tulisan namanya dia, kesukaan en apa yg dia nggak suka. Ah, hope you enjoy this story~
Saiia lagi dalam mode lebay~ hehe~ karena sedang stress gak dapet juara umum~
Ya sudah~ saiia mau bikin fic lagi
See you in my next story~~

fanfic DeathNote

Cat
Pairing : MattMello
Rate : T
Genre : Romance/Family – yaoi
Don’t like, don’t read
Disclaimer : Matt & Mello are belong to Takeshi Obata and Tsugumi Ohba
Summary : Matt membawa pulang seekor kucing
------------ enjoy -------------
Hari itu hujan. Air-air asin itu jatuh dengan deras, seakan marah pada bumi dan ingin menghantamnya berulang kali. Dan mungkin itu yang dirasakan oleh pemuda berambut pirang itu. Sudah dua jam dia menunggu, tapi orang itu belum datang juga. Benar-benar membosankan, duduk sendirian membaca kertas-kertas kasus dan tidak ditemani oleh bunyi game.
Hari yang membosankan.
--- --- --- --- ---
Hujan masih deras. Hari sudah semakin sore. Dan dengan rasa malas, Mello berdiri dari duduknya, untuk sekedar menyalakan lampu. Setelah semua lampu dihidupkan, ia kembali duduk di sofa, dan membaca-baca tanpa niat. Hanya sekilas dan sekedar membuang waktu.
Pintu berderit terbuka. Seorang pemuda berambut merah menyala, berbaju belang merah-hitam dan celana jeans masuk. Badannya basah kuyup. Ada tetesan-tetesan air yang jatuh dari rambutnya. Ia terus berjalan menuju ruang tengah, dan tersenyum hangat memandang Mello yang memasang wajah sinis.
“Kau membuang waktuku,”
“Maaf, hujannya terlalu deras. Aku harus berusaha agar laptopku tidak basah,”
“Che,”
Air menetes-netes ke lantai, dan itu membuat Matt harus segera ke kamar mandi. “Aku mau mandi dulu,”
Matt berjalan menuju kamar mandi, dan Mello kembali membaca berkas-berkas. Entah kenapa, kali ini konsentrasinya kembali dan ia bisa menganalisis berkas-berkas itu dengan mudah. Seakan semua beban telah lepas.
“Meow,”
Terdengar bunyi hewan pemakan ikan.
Mello tidak mempedulikan suara itu. ‘Hujan menyamarkan semuanya’ pikirnya.
“Meow,” suara itu terdengar lagi.
Mello masih tidak menanggapinya.
“Meow,”
Dan kali ini, suara itu benar-benar mengganggu. Mello melihat sekelilingnya, dan betapa terkejutnya saat ia melihat seekor kucing hitam ada di depan kakinya. Mello baru akan mengambil kucing itu saat tiba-tiba Matt berjongkok di samping kucing itu. Ia menggendong kucing itu.
“Aku menemukannya di jalan. Kasihan, ‘kan? Dia basah kuyup,”
Mello mengernyit. Mereka saling berpandangan dalam beberapa detik, melancarkan aksi adu kontak mata, dan diakhiri dengan Mello yang mengalihkan pandangan. Tapi meski bukan melalui kata-kata, Matt tahu Mello tidak keberatan.
“Pakai bajumu,” kata Mello. Ia sengaja mengalihkan pandangannya, berpura-pura membaca berkas di tangannya.
“Ah, ya,” kata Matt yang baru sadar kalau ia hanya melilitkan handuk di pinggang sebagai penutup tubuhnya. “Um, oke,”
Mello memandang ke arah jendela. Hujan telah reda. Ia bangkit, dan berjalan menuju pintu. “Aku mau beli coklat,”
Matt mengangguk, masih menggendong kucing itu, sambil mengelus-elus kepalanya.
Setelah yakin Mello telah pergi, Matt bertanya pada kucing itu, “Sepertinya kalian belum saling beradaptasi, ya?”
“Meow,”
--- --- --- --- ---
Mello sedang tidur di bed miliknya (dan Matt). Matt baru saja masuk kamar sambil membawa beberapa berkas, dan menghidupkan laptopnya.
“Sepertinya ada kelompok jalanan baru yang mencari masalah dengan anak buah kita,” kata Matt. Ia berjalan dan duduk di pinggir tempat tidur.
“Suruh Roger mengurus mereka. Cari tahu apa mereka punya relasi dengan mafia yang menjual mariyuana ke Jepang,”
“Baiklah,”
Matt kembali duduk di kursinya dan mencari-cari info tentang geng jalanan itu, sementara Mello masih tiduran.
Kucing hitam itu tiba-tiba naik ke ranjang, dan meringkuk di bantal Mello. Mello membalikkan badannya.’Tidak buruk’ batinnya. Tanpa sadar, Mello mengelus kepala kucing yang tertidur pulas di sebelahnya.
“Dia imut, ‘kan?” kata Matt memecah keheningan.
“Che,” Mello membalikkan badannya lagi, memunggungi Matt.
“Tapi aku tetap lebih menyukaimu, kok,” kata Matt sambil nyengir.
Mello mendengus, membalikkan tubuhnya lagi untuk tidur, tapi Matt sudah ada di sebelahnya dan menarik dagunya. “Itu benar, kok,” Dan pemuda berambut merah itu mencium lembut si pirang. Mello membalas, sebatas ciuman ringan dan lembut.
Beberapa detik, Matt menjauhkan kepalanya. “Kau makan berapa batang coklat hari ini?”
“Siapa peduli,” dan mereka berciuman lagi.
--- --- --- --- ---
Matahari sudah tinggi. Cahaya-cahayanya merambat ke dalam ruangan itu melalui celah jendela yang terbuka. Dan berkas-berkas sinar itu mengenai seseorang yang sedang tertidur pulas.
Sebuah lagu mengalun di udara, membangunkan Matt dari tidurnya. Dengan malas, ia meraba-raba tempat tidurnya untuk mencari handphonenya.
“MATT!!” teriakan itu sukses membuat Matt terbangun. Hal pertama yang ia lihat adalah Mello yang berteriak. “Matikan handphonemu!”
“Eung, oke,” Matt meraba-raba lagi, dan ternyata handphonenya ada di bawah bantal. Herannya, bantal itu tidak berada di bagian kepala tempat tidur, tapi tergeletak di pinggir bawah tempat tidur. Ia segera mematikan handphonenya. Ternyata itu bunyi alarm. “Mello, hari ini kita ada janji dengan orang-orang dari tempat orang itu, ‘kan?”
Mello menoleh. Ia tampak berpikir sebentar, dan mengangguk sekilas. Matt menutupi bagian bawah tubuhnya sampai ke pinggang, dan memandang Mello-yang sedang berjongkok dan bermain-main dengan si kucing hitam-sebagai sarapan paginya.
“Hm, kalau begini, aku jadi tidak lapar,” kata Matt.
Mello menoleh, dengan si kucing dalam rangkulannya. “Kenapa?”
“Melihatmu saja sudah membuatku kenyang,” kata Matt santai. Plus cengiran lebar.
Hening.
“Lalu untuk apa aku membuat sarapan, hah?! Pokoknya kau harus makan!” teriak Mello.
Matt kaget sendiri, tapi ia dengan mudah sadar. Toh setiap hari Mello memang sering marah, kan?
“Che, jangan marah! Kalau kau yang buat pasti aku makan, kan?”
‘Cih, aku kena!’ rutuk Mello.
“Ah, kita harus bersiap-siap, Mells. Sejam lagi mereka datang,” kata Matt. Ia menggoyang-goyangkan tangannya, dan si kucing hitam melepaskan diri dari rangkulan Mello. “Ah, dia patuh padaku,”
“Tentu saja. Kau yang menyelamatkannya,”
“Tidak juga. Dia bisa tinggal di sini karena kau mengizinkannya,”
“Che, ini kan rumahmu,”
“Rumah kita berdua, Mihael Keehl,”
“Che, Mail Jevas,”
“Ok, sebaiknya kita cepat mandi atau mereka akan meninggalkan kita,”
--- --- --- --- ---
Mello duduk di sofa dengan tangan kanan memegang berkas-berkas kasus Kira dan tangan kiri memegang coklat batangan. Ia membaca berkas-berkas itu sambil sesekali, atau beberapa kali, dalam sepuluh detik, menggigiti coklat Cad Burry itu.
“Menarik juga,”
“Apanya?”
Mello menoleh sekilas ke arah Matt, memperhatikan pemuda berambut merah itu. “Kenapa pakai rompi? Mau ke mana?”
“Ah, aku mau beli game baru,”
“Che,”
“Mungkin aku pulang agak sore. Sepertinya ada banyak pilihan baru,” Mello tidak mendengarkan, jadi Matt pergi.
--- --- --- --- ---
Setelah 20 menit.
Kucing itu mengais-ngais di depan kaki Mello. Bosan, Mello memilih bermain-main dengan si hitam itu.
“Kau kesepian?”
“Meow,”
“Yeah, dia memang menyebalkan,”
“Meow,”
“Kerjanya hanya main game saja,”
“Meow,”
“Seharusnya dia bertanggung jawab,”
“Meow?” entah kenapa, nada kucing itu terdengar seakan bertanya.
“Well, dia sudah mengambil kita, jadi seharusnya dia tidak membiarkan kita kesepian,”
“Meow,”
--- --- --- --- ---
Flashback
Hujan.
Apakah itu menunjukkan bahwa ada seseorang yang sedang menangis?
Apakah itu menjadi pertanda bahwa ada seseorang di bumi sana yang sedang bersedih?
Apakah itu pertanda bahwa seseorang baru saja kehilangan?
.
Tidak, tidak selalu begitu.
Kadang hujan bisa menjadi pertanda hari akan cerah.
Dia bisa menjadi pijakan dari awal yang baru.
Ia seolah berkata, “Kehidupan masih akan jadi lebih baik,”
Kata-kata itu berdengung di kepalanya. Kata-kata yang memenuhi pikirannya saat ini, padahal beberapa detik yang lalu ia sedang kalut. Kata-kata yang seolah berasal dari langit.
Tapi suara itu nyata. Mello yakin dia mendengar suara itu. Ia yakin seratus persen, karena dalam hujan yang deras itu, suara itu terasa lain. Terasa begitu menenangkan, dan nyaman.
Ia mengangkat kepalanya, dan menemukan seorang pemuda sebaya dengannya sedang berdiri di hadapannya. Orang aneh yang memakai baju bergaris merah-hitam dengan rompi putih, celana jeans dan sepatu but sebetis. Orang yang aneh, karena di tengah hujan begini bukan langsung pulang malah menyapa orang asing.
Orang aneh yang bisa membuat hatinya merasa nyaman hanya dengan mendengar suaranya saja.
Matt.
.
Mello berdiri. Ia menatap Matt dengan tatapan sinis, sama seperti tatapan yang ia berikan pada anak-anak lain di Whammy House.
“Pergi!”
“Ayo pulang,”
“Aku tidak akan kembali ke sana,” mata si pirang membulat, menolak.
“Ayo pulang,”
“Sudah kubilang, aku tidak ak..”
“Ayo pulang ke manapun kau mau. Ayo pulang ke tempat di mana kita bisa hidup bersama,”
Mello tercengang.
“Matt, tapi, kau... aku... tapi...” suara Mello bergertar. Tangannya juga sama, gemetar. Tubuhnya terasa kaku. Matt, sahabatnya sejak di Whammy House, orang yang sekamar dengannya sejak ia ada di panti itu, orang yang tanpa disadarinya (dan dia tidak mau mengakuinya) sangat ia sayangi-setelah L, tentu. Dan kini, menjadi orang yang tersenyum, mengajak untuk pulang.
“Mello, kalau kau tidak mau kembali ke Whammy, bukan masalah. Aku akan ikut bersamamu,” kalimat yang sederhana. Dengan Matt yang menjulurkan tangannya, menunggu Mello menanggapinya.
.
Hanya kalimat itu. Hanya kalimat itu yang mendasarinya. Hanya kalimat itu yang membuat Mello berlari, menghambur ke arah Matt dan memeluknya erat. Hanya kalimat, dan sebuah kepercayaan, yang membuat mereka mengikat diri untuk terus bersama. Sebuah hubungan baru, untuk hidup baru.
Untuk hidup yang lebih baik. Dengan sebuah ciuman.
Di sela-sela ciuman-di-bawah-hujan itu, Mello -didorong rasa ingin tahu- mengajukan sebuah pertanyaan bodoh -menurut Matt-
“Bagaimana dengan barang-barangmu?”
Matt terkekeh kecil, tapi ia merasa kesal juga. Bagaimana Mello bisa memikirkan hal itu dalam keadaan seperti ini?
“Demi Tuhan! Mello! Hanya kau yang kubutuhkan!”
.
Dan sebuah kalimat lagi yang meyakinkan Mello bahwa hujan tidak selalu buruk.
FLASHBACK OFF
--- --- --- --- ---
Flashback si Kucing
Hujan menghantam bumi. Menghantam semua yang ada di sana, tanpa ampun. Semuanya. Bangunan, pohon, jalan, mobil-mobil, semuanya. Dan juga seorang pemuda berambut merah yang berlari sambil mengumpat.
“Che, sial! Kalau begini Mello akan menunggu lama!”
Di sebuah persimpangan jalan, ia memilih melewati sebuah gang kecil yang bisa jadi jalan pintas menuju rumahnya -dan Mello-
Saat itulah, ia melihat seekor kucing hitam, di atas kardus, menggigil kedinginan, basah tertimpa hujan. Sebenarnya Matt tidak ingin memungutnya, karena ia tahu Mello benci hewan. Tapi keadaan kucing itu malah mengingatkannya pada Mello. Saat ia berhasil meyakinkan Mello –dua tahun lalu-, bahwa mereka bisa bersama.
“Che, kau mengingatkanku padanya, sih. Ayo, kita ke rumahku,” Matt merangkul kucing itu di dekapannya, lalu berlari lagi.
“Mungkin aku harus menyuapnya dengan puluhan coklat,” keluh Matt sambil berlari dan kucing itu dalam dekapannya.
“Meow,”
“Ya, ya. Bukan masalah,”
Flashback si kucing off
--- --- --- --- ---
Matt membuka pintu kamarnya dan menemukan Mello sedang bermain dengan si kucing.
“Kau kembali, Matt,”
“Tentu saja,”
“Kau beli game apa?”
“Resident Evil V,”
“Pinjam,”
“Aku beli pizza,”
“Taruh saja di meja,”
“Aku mau makan sekarang,”
“Che, Matt,”
Mereka berdua duduk di sofa dan makan pizza bersama.
“Mells,”
“Ehn?”
“Siapa?”
“??”
“Nama,”
“??”
Merasa tidak mendapat respon positif dari Mello, Matt menggendong si kucing dengan sebelah tangannya. “Namanya siapa?”
Mello berhenti mengunyah pizzanya.
“Arthur,”
“Eh? Kenapa Arthur?”
“Kau yang bertanya siapa namanya, kan? Aku mau namanya Arthur,”
“Che, Mello. Kau ada-ada saja,”
Matt menurunkan si kucing, sepertinya dia lapar.
“Ah, sepertinya Arthur kita suka pizza tuna,”
“Hey! Itu bagianku!”
“Mells, jangan ambil bagian Arthur!”
“Hey!”
“Bagianku!”
“Biarkan saja!”
“Hey!”
“Meow”
.
.
.
And they live happily ever after
.
.
.
FIN
.
.
Abal, nggak? Aku berusaha bikin fluffy, tapi agak susah *susah banget* Endingnya agak ngegantung. Mohon mahap! Saiia gak pinter bikin fluff. Padahal pengen!!
Ini terinspirasi dari doujin berjudul Love Life. Lagu pengiringnya Hum Hallelujah milik Fall out boy. Mantab! Tapi aku Cuma sertain sedikit *gak semuanya* coz tulisannya kanji. Ini pun aku bikinnya kira-kira, apa yang mereka omongin. Pokoknya REVIEW! Dan kusaranin, untuk keterangan lebih lanjut baca aja doujinnya, ato cari di u-tub.
Mata ashita!!

Senin, 09 November 2009

SORRY

I'M REALLY SORRY!!!
MAHAP
AKUH GAK BISA NEPATIN JANJI!!!!!!!!!!
HIX HIX
akuh gak bisa selesein fic akuh yang udah ada 20-an ituh
naap
habis, tugas numpuk, semua rata2 baru gue ketik 3 per 4 nya
belum ngetik ending!!!
nggak sempet!!!
hix hix
ulangan banyak!!
yaudah
abis ulum ajah aku ngepost fic!
janji!! pasti habis ulum atau paling gak pas libur semester akuh post fic. janji!!! hehe
soalnya, bikin fic punya kesenangan tersendiri buwat aku
huahahaha
ayo! cayo!

Rabu, 04 November 2009

ganti avatar

Saia ganti avatar jadi Juugo!!
Entahlah. Saia jadi suka sama dia *tereak pake toa* mungkin karena dia lucu *liyat rambut jabriknya!* hehe. Alesan dia ikut hebi a.k.a taka a.k.a kelompok-balas-dendam-ala-uchiha-sasuke juga nggak buruk-buruk amat, wong amat aja gak buruk *tumben muji amat* emang diya gak senyum en tampangnya dingin *hebi seimbang deh, 2 orang brisik lagi jarang ngomong* tapi saiia suka. Kita gak bisa menyukai sesuatu dengan alasan, ‘kan? Menurut saia gitu. Hehe
Klu ada yang punya image atawa pernah liyat chibi chara yang lucu nan imut, kastau saiia yaw!! Hehe. Habis, entah sejak kapan, selera saia jadi bishounen *dijauhin karena yaoi beneran*
Hehe. Suka atopun tidak, toh author geblek ini *baca: cassie-HAIKU* memang bishi-lover. Nyahaha
>.<> nggak masalah apa yang kita suka. Toh tujuan adanya situs ffn ini untuk menyalurkan apa yang kita suka, dan menyalurkan semangat mengetik!! Siapa tau dari sini bisa bikin cerita dengan chara sendiri! Keren kan?
Mari, menghormati chara kesukaan orang lain
Fuh . . .
Habis ngebacot banyak saiia jadi haus
Minum dolo
Bai-de-wei
Kok ripyunya dikit ya? Banyakin donk! *ngancem*
Biyar semangat nih! Saiia kan jadi seneng tiap buka imel kalo ada yg isinya [Review Alert]
Nyahaha
Brasa asoy bangat!!
Nyaho! Caio! Review please!!!

ABOUT LIFE

About life
Nyehehe
Saiia ngepost yang gak guna lagi ........ *kayaknya semacam cerita rohani tapi karena yang ngetik saiia jadi rada gak penting*
Saiia disuruh guru bahasa indo saiia untuk cerita tentang salah satu pengalaman. Nyehehe
Saiia ma temen-temen dapet waktu keaknya 2 mingguan geto buat nyiapin diri. Trus, ni beberapa cerita yang saiia inget *summary gak lengkap versi saiia* *dikeplak* *ditendang* *dirajam*
Hm, cerita pertama, er, oh yeah, temen cewe saia *bukan my girlfriend* yang cerita tentang dia pernah bangun jam lima sore, trus mandi, pake seragam en mo brangkat skul. Hehe. Judulnya ‘Bodohnya Aku’
Trus, cerita selanjutnya?? Saiia lupa *dikampak*
Er, yang saiia inget aja. Erm, cerita temen ‘shaolin’ saia, klo dia waktu ke rumah sakit pernah salah masuk mobil *sukur dia gak salah masuk mobil jenazah*
Trus, temen saiia yang pernah tinggal di Surabaya *ato Bandung* waktu dia umur 7-tahun gitu. Dia ngerayain 17 agustusan, trus malemnya maen2 bareng temen2nya ke rumah kosong. Trus, ada suara minta tolong. Mereka kabur, en ternyata, suara minta tolong itu dari salah satu temen se-grup mereka yang jatoh.
En the, temen saiia yang kehilangan-kehabisan-bensin di tengah jalan.
Trus, temen saiia yang ikut pramuka en waktu mo dilantik harus berenang di tengah sungai berlumpur plus ta* kebo.
Cerita temen gw yang dapet hape baru *disangka blackberry padahal ternyata Nexian*
Cerita temen gw yg sakit seminggu en musti nyusul ulangan-ulangan
Cerita temen gw yg ngeliat cewe cantik, tp harus ninggalin tu cewe karena dia pindah
Cerita temen gw yg pernah juara harapan 1 lomba bahasa indo tingkat nasional pas SD
Cerita temen saiia yang ngelawan ketua PKS pas MOS.
Temen saia yang pas ultah ke waterboom, en dibayarin bapak sobatnya *enaknya*
Cerita seorang temen yang nyolong mangga di sekolah waktu dia masih SD
Trus cerita temen saiia yang dikejar anjing malem2 gara2 disuruh beli bawang sama mamahnya
En, yang dapet nilai paling tinggi *lirik cowok putih tinggi yg lebih tinggi dari saia dan lebih putih dari saia, dan lebih ganteng dari saiia dengan tatapan membunuh sekaligus mupeng-karena saiia Cuma 160 cm dan dia 170* ceritanya yah, yang saia upload ficnya *mungkin itu bukan fiction, but i keep it to be a fiction in naru’s fandom*
En, siapa lagi ya?? Cerita saia? Haha
Gak penting. Memalukan. Gak rasional. Dan gak ada yang denger (??)
Tapi, dari itu semua, aku Cuma pengen tahu. Kalian dapet kesan apa? Nggak ada? Ya iyalah.
Cuman saiia ngerasa perlu bikin nie di blog, karena menurut gw, hidup itu nggak mentok itu-itu aja. Gw yakin kok. Percaya sama gw. Buat kali ini aja, percaya sama gw. Karena kalo elo liyat sekitar lo, inget kejadian2 dalam idup lo, pasti deh, lo nemu something yang bisa bikin lo ngeh kalo hidup udah dibikin Tuhan sedemikian rupa, dan sama sekali gak membosankan. Mungkin someday, lo mikir hidup itu ngebosenin. Gw jg ernah ngerasa kaya gitu. Tapi sejak guru bahasa indo gw yang baik bin ramah bin polos en gak pernah marah nyuruh gw ma temen2 sekelas buat bagi2 cerita, gw sadar kehidupan tiap orang pasti beda. Pasti.
Dan lo tau? Hidup itu berjalan sesuai apa yang kita pengen. Kalo kita pengen berhasil, kita bakal berhasil. Bullshit kalo orang bilang hidup lo tergantung nasib. Hidup kita itu –kalo lo percaya Tuhan- dibebasin ama Tuhan. Pernah gak lo dimarahin ama Tuhan gara2 ga bikin pe-er? Nggak kan? Yang ada bonyok lo yang marah, atawa guru lo yang ngejewer lo. Itu bukti Tuhan ngizinin kita jadi apa yang kita mau.
Dan itu berarti, silakan, lo lakuin apa yang lo mau. Dan kalo lo pengen berhasil dalam hidup ini, lakuin apa yang menurut lo bener. Lakuin apa yang menurut lo bisa bikin lo berhasil.
Lo boleh duduk diem, tidur, bangun, makan, tidur lagi, bangun, makan, gitu terus. Silakan. Itu hidup lo. Apa yang bakal terjadi nanti, itu hak lo. Gak ada orang lain yang berhak nerima kehidupan kayak lo. Karena mereka nggak ngelakuin hal yang sama ama elo. Karena mereka melakukan tindakan yang pasti beda sama lo. Karena elo ya elo. Hidup lo ya hidup lo. Mau hidup lo kayak gimana juga, itu karena hasil perbuatan lo.
Tapi kalo boleh, gw mau promosi. Yuk, kita bangkit en ngelakuin apa yang kita bisa sebaik mungkin. And also, ngelakuin itu nggak Cuma pake indra, tapi juga pake hati. Karena menurut gw, bertindak sebaik mungkin jauh lebih mudah dibanding baca blog gw. Itu kalo lo berkenan. Kalo nggak, gw jg ga punya hak buat maksa. Gue kan Cuma promosi biar kita sama-sama bikin hidup ini lebih baik. Dan bermakna. Biar kita gak perlu Death Note Cuma buat ngilangin kebosenan.
Ngerepotin. Iya kalo L ada, kalo ntu Shinigami nagih bukunya gimana? Kalo ntar kita jadi gak bisa masuk surga ato neraka en gentayangan terus gimana? Mau lo?
Yah, gw OOT lagi. T.T sebel jadinya ma diri sendiri. Tapu sutralah. Mau bikin presentasi doeloe. Kerjaan power point numpuk bagaikan cucian di belakang rumah gw.
Ja ne!

fanfic naruto

Naru’s Chilhood
Genre : family/hurt
Disclaimer : Uzumaki Naruto © Masashi Kishimoto
Cerita masa kecil ini © temen saiia
Naru’s chilhood © cassie-HAIKU

Saat itu, entah kenapa langit mendung.
Saat itu, aku tidak ingat kapan. Aku bukan ingin melupakannya, hanya saja, rasanya otakku tidak ingin mengingatnya. Entah sudah berapa tahun lewat sejak saat itu.

Naruto bermain di halaman rumahnya. Meskipun langit mendung, ia tetap bermain pasir di halaman. Ada beberapa temannya yang lewat di depan rumahnya dan mengajak bermain di lapangan dekat sana. Tapi ia menolak. Ia lebih suka bermain di sana, di dekat rumahnya.
Ia sedang membangun-entah-apa, saat ia melihat seseorang berjalan keluar dari rumah. Orang itu berjalan dengan tergesa, dan sedikit pun tidak menoleh ke belakang. Yang Naru ingat, saat itu ia tidak merasakan apapun. Meski ia melihat ibunya menangis di dekat pintu, menatap kepergian orang itu.
Tapi Naruto saat itu masih terlalu kecil. Ia bahkan belum bisa berhitung, seingatnya. Ia hanya melanjutkan bermain pasir. Tanpa perasaan apapun.

Entah sudah berapa lama orang itu pergi dari rumah itu. Naruto tidak merasakan apapun. Ibu dan kakak-kakaknya tidak pernah berbicara tentang orang itu. Tidak pernah, sampai-sampai ia bahkan lupa bahwa ia pernah melihat seseorang itu pergi.
Ia bahkan lupa bahwa seseorang itu pernah ada, dan mengisi hidupnya.
Bahwa orang itu adalah orang yang teramat penting dalam keeksistensiannya.

Hari itu, Naruto bermain seperti biasa.
Bedanya, ia sedang bermain dengan sebuah mainan baru. Mainan pemberian ibunya. Saat itu entah sudah berapa lama sejak kepergian orang itu. Entahlah, ingatan itu benar-benar telah terkubur dalam.
Lalu, ibunya memanggilnya. Kushina memanggilnya dan menyuruhnya untuk menemui seseorang.
Naruto tidak peduli. Ia sedang sibuk bermain dengan mainan barunya. Bermain robocop. Toh, ia tidak mengenal siapa orang yang harus ditemuinya.
Ia terus bermain, tidak peduli pada panggilan ibunya.
Akhirnya, ibunya berhenti memanggilnya. Dan ia tetap bermain dengan riangnya.
Tapi, entah kenapa, tiba-tiba ia tergerak untuk menemui orang itu. Ia tiba-tiba merasakan sebuah perasaan aneh dalam dadanya. Perasaan yang baru bertahun-tahun kemudian ia mengerti. Perasaan rindu yang teramat sangat.
Ia berjalan keluar rumahnya, dan berdiri di trotoar. Ia melihatnya.
Naruto masih memegang robotnya, dan ia tersenyum. Bukan efek robotnya, tapi ia melihat orang itu. Orang yang waktu itu pergi. Dan sekarang orang itu berdiri di seberang jalan sana. Hanya terpisah 5 meter darinya. Hanya 5 meter.
Naruto merasa sangat senang, sekaligus rindu. Ia mulai berlari ke sana, berharap ia bisa segera memeluk orang itu.
Ya. Naruto mulai bisa mengingat siapa orang itu. Dan ia merasa sangat ingin memeluknya.
Ia berlari, terus, dan orang itupun melebarkan lengannya, bersiap memeluk tubuh mungil itu.
Lalu tiba-tiba, semuanya menjadi aneh. Ia tidak mengerti apa yang terjadi.
Semuanya terlalu cepat.
Ia tidak tahu sejak kapan benda itu ada di sana.
Ia tidak tahu, kenapa tiba-tiba truk itu melewatinya.
Melewati orang itu.
Naruto kecil masih berdiri di tempatnya. Aneh memang, seingatnya ia tadi berlari, berharap bisa segera menerima pelukan hangat orang itu. Dan ia masih belum mengerti apa yang terjadi, meskipun orang-orang berteriak, mengerumuni sesosok pria yang tergeletak tak berdaya di tengah jalan raya, dengan cairan merah mengotori pakaiannya yang sebelumnya rapi.
Lalu, iblis merasuki Naruto, dan memberikan kenyataan padanya.
Orang itu . . . .
Orang yang seharusnya ia panggil ayah
Tiba-tiba terenggut begitu saja.
ia bahkan tidak ingat wajahnya.
Ia tidak ingat bagaimana suaranya.
Ia juga tidak ingat bagaimana rasanya dipeluk oleh seseorang yang bernama ‘Ayah’
Dan saat ia akan mendapatkan itu semua, Dia memanggilnya. Terlalu cepat, ‘kan? Ia bahkan tidak memiliki memori apapun tentang orang itu. Tidak ada yang bisa membuatnya tahu, perasaan apa yang melanda hatinya saat itu.

Aku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi. Ibu bilang, ayah pergi meninggalkan kami dan tidak pernah kembali.
Kakak bilang, ayah jahat dan aku harus membenci ayah.
Dan yang aku tahu? Yang kutahu, orang itu, yang bersimbah darah waktu itu adalah ayahku.
Tapi ibu selalu mengatakan hal yang sama setiap kali aku bertanya tentang ayah. Selalu jawaban yang sama, setiap kali aku melihat anak-anak lain yang berjalan bersama ayah mereka. Selalu jawaban yang sama, setiap aku pulang ke rumah, menahan tangis karena teman-teman mengejekku tidak punya ayah. Selalu jawaban yang sama.
“Jangan pernah mengingatnya,”

Aku selalu iri setiap melihat anak-anak lain berjalan bersama ayahnya.
Selalu begitu, saat melihat mereka berjalan bersama.
Selalu kesal, saat orang lain berbicara tentang ayah.
Selalu pergi dari sekolah, dan bersembunyi di bawah meja di gudang sekolah setiap hari ayah tiba.
Selalu memasang earphone dan menutup mata saat melihat seorang laki-laki dewasa bersama bayinya.
Selalu menutup mataku, pada dunia.
Dunia di mana orang lain memiliki ayah, dan aku tidak.

Sekarang, aku sedang berdiri di sini.
Di atas ubin kelas. Berdiri membelakangi papan tulis, berhadapan dengan semua teman sekelasku, dan seorang guru. Guru yang meminta kami menceritakan salah satu pengalaman dalam 15 tahun hidup kami. Dan aku bercerita tentang ini. Tentang apa yang telah kalian baca ini.
Aku berbicara, dengan suara sebiasa mungkin. Tapi aku yakin, semua orang di kelasku bisa mendengarnya. Aku memiliki kepercayaan diri, tentu saja. Berbicara di depan teman sekelas tidak akan membuatku down. Kuanggap ini seperti presentasi seperti biasa.
Hanya saja, saat presentasi kali ini, ada sesuatu yang hangat dan basah jatuh ke pipiku. Sesuatu yang kutahu sebagai air mata. Ya. Air mata, yang mengkhianatiku. Air mata ini tetap mengalir meski aku berusaha untuk tegar. Tapi toh, meski CCTV aktif, kepala sekolah di ruangannya tidak melakukan apa-apa.
Toh, tidak ada pasal di dunia-yang kutahu dan aku yakin-yang berisi larangan bagi laki-laki untuk menangis. No, sir. I am not a man. Not yet. Now, i’m just a boy.
Dan ternyata, setelah aku mengakhiri ceritaku, dan berjalan menuju bangku tempatku duduk bersama si ketua kelas, seseorang berkata pelan, sampai hanya aku dan author yang mendengar suaranya
“Ceritamu menelan lima korban,”
Aku mengernyitkan alis, lalu-author rada gak bisa jelasin coz nggak gitu jelas lihat ekspresi orang itu-si em, orang yang memberi laporan itu membuat gerakan semacam menunjuk mata hingga pipi dengan jari telunjuknya, berpantomim seolah jari telunjuk itu air mata.
Aku tersenyum tipis, entah kenapa merasa sedikit terhibur dengan tingkah aneh cewek berambut pendek itu-yang menurut author juga aneh. Mungkin anak itu ingin sedikit mencairkan pikiranku yang masih penuh dengan bayangan orang itu.
Mungkin begitu-author gak tau coz gak sempet nanya ntu cewe rambut pendek.
Dan sepertinya ia ingin mencairkan suasana. Karena ketika ia maju ke depan, ia bercerita tentang sesuatu yang tidak penting menurutku juga author-dijitak cewe itu.
Ceritanya lucu, ditambah gerakan-gerakan tambahan yang meski tidak berlebihan, tetap menarik tawa. Padahal, ia berkata akan menceritakan pengalaman menyeramkan, ternyata caranya menceritakan sama sekali tidak menunjukkan aura horor sedikit pun. Yang ada, kelas meledak-hiperbola doang-dengan tawa, bahkan begitu juga dengan guru kami. Sepertinya ia berhasil. Ia sendiri bahkan meminta maaf di akhir gilirannya, bahwa apa yang ia ceritakan memang tidak penting. Tapi toh ia berhasil mencairkan suasana.
.
.
.
.
.
Hei
Kau tahu?
Hidup itu tidak selalu menyedihkan
Ada kalanya kau sedih
Dan pasti kau pernah bahagia
Aku yakin itu
Meski rasa sakit itu masih ada
Tapi hidup dengan penyesalan sama sekali tidak berguna
Tidak berguna
Jadi, angkat dagumu, tataplah masa depan dan berjuanglah
Karena hidup ini terus berjalan
Karena mengasihani diri adalah tindakan paling menyedihkan
.
.
.
FIN


A/N :
Saia bejad
Benar-benar bejad
Saiia tahu, kok.
Kurang ajar, bejad, atau apapun.
Boleh flame. Silakan.
Tapi please, jangan komentari jalan ceritanya. Komentari aja gimana cara saiia menceritakannya. Inget! Cara saia menyampaikan, bukan isi cerita. Karena isi ceritanya adalah pengalaman temen saiia, jadi please, jangan komentar apapun tentang kehidupan orang lain –digeplak- *padahal sendirinya mengekspous cerita sedih temen*
Maka, dengan senang hati dan lapang dada, saiia menerima review dari Anda
douzo


Selasa, 20 Oktober 2009

YAY!!!!!!!

eh, e, btw, nihhh
akuh lagi di skul trus ngenet, pas bawa leppie, eh taunya wiffi skul aktiv!!!! hehe
jadilah, aku mengupload fic. tapi-tapi, karena tujuan utama akuh ke skul adalah ngerjain tugas kelompok yang nbejibun en temen2 akuh udah manggil2 akuh, minggu depan kupost yang lain!!!
tunggu yaw!!!

chibi raito L

the last

THE LAST
Pairing : U. Sasuke X U. Itachi
Author : guelah . . . si OI yang jahanam *geplak pala ndiri*
Disclaimer : © Masashi Kishimoto, pemilik asli gulungan komik Naruto
© Oi, sang author penpik ini *sok keren*
Rated : M *belakangan ini saiia bikin rated M terus tapi gak ada lemon ato lime. Mungkin karena saiia lebih suka jeruk*
Genre : Romance/Incest/Hurt
Warning : ini YAOI. Dan mengandung UCHIHACEST. Bagi yg gak suka yaoi, INCEST, SasuIta, atau mungkin gak suka sama saiia, klik icon back dan silakan pilih yang lain
A/N :
Di sini Dei-chan aikeh jadiin cewe. Kan dia cantik, rambut panjang pirang dengan senyum menawan ala bintang iklan pasta gigi. Begitulah.
Nah, pas baca, saiia anjurkan buat dengerin lagu sedih-sedih, kayak Doushite Kimi no Tsuki Ni Natte Shimatan Darou milik DBSK yg terancam punah *dirajam DBSK-fans* , Timeless by Zhang Ri In ft. Xiah Junsu, Bleeding Love milik Leona Lewis, Lovin You by DBSK ato lagu-lagu sedih lain yang relevan *ketularan tugas di buku*
Nah, daripada saia cuap-cuap gak jelas, padahal sekarang kita udah pake sistem KTSP, jadi mari kita mulai kegiatan aktif kita membaca fanfic saiia ....
Enjoy read . . . . . .
------------------- xXx -------------------
Sasuke duduk bersandar pada batang pohon di dekat sebuah bangunan tua yang dijuluki sebagai rumah hantu. Menurutnya, rumah itu tidak berhantu, sama sekali tidak. Hanya tidak terawat. Sebuah rumah yang ditinggal pergi pemiliknya. Dan membuat orang-orang berpikir macam-macam. Meski penampakan rumah itu dari luar pagar tampak sangat ‘horor’ tapi sebenarnya jika masuk ke dalam sana, ia yakin tidak akan ada hantu tanpa kepala, wanita berpakaian suster yang ngesot ataupun makhluk putih yang melompat-lompat. Paling beruntung, seperti yang pernah ia alami, mendapati banyak tikus, kecoa dan makhluk pengganggu lain. Minus fakta bahwa ia masuk ke dalam rumah itu pada siang hari.
Tapi persepsi mayarakat memang selalu begitu. Selalu melebih-lebihkan. Atau yang lebih parah, mengada-ada. Kebanyakan masyarakat memakai nalar mereka dengan cara yang salah. Mereka menggunakan logika mereka untuk berpikiran negatif, tidak peduli pada fakta sebenarnya. Bisa dibilang, imajinasi mereka cukup tinggi, sayangnya itu hanya imajinasi. 99% dari gunjingan ibu-ibu saat mereka arisan adalah kebohongan, setidaknya itulah pikiran Sasuke. [1]
Termasuk juga tentang keluarganya. Orang-orang menganggap keluarganya sangat harmonis. Memang, di luar, sikap mereka seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi dia-Sasuke-yakin kalau sebenarnya ada yang sedang disembunyikan Otou-sannya darinya. Entah hal apa itu.
Dan sebagai remaja-biasalah, merasa harus diikutsertakan dalam segala hal yg berbau ‘dewasa’-Sasuke merasa dirinya sudah ‘cukup umur’ untuk tahu ada masalah apa sebenarnya dalam keluarganya. Itu sebabnya, belakangan ini-tepatnya sejak 8 hari lalu-ia selalu bolos setelah jam istirahat pertama-minus hari Minggu. Toh ia sudah mengerti dan paham benar semua peajarannya untuk satu tahun ini, dan bahkan ia sudah mengerti hampir semua pelajarannya hingga ia lulus SMA nanti, 2 tahun lagi. [2] Selain itu, ia ingin menunjukkan penolakan terhadap tawaran beasiswa padanya untuk sekolah di Otto.
Pihak sebuah sekolah ternama-kalau Sasuke tidak mau mengakuinya sebagai sekolah terbaik-telah mengirimkan beberapa ‘utusan’ untuk ‘menjemput’ Sasuke. Mereka mengejar-ngejar Sasuke-bukan sebagai fans-dan menceritakan banyak hal-kebanyakan memuji-tentang sekolah mereka. Sebenarnya Sasuke malas mendengarkan, dan itulah yang menyebabkannya ‘kabur’ dari sekolah.
Bukannya sekolah di Otto jelek atau apa-Otto terkenal sebagai kota yang memiliki sekolah terbaik di seleuruh dunia fanfic Naruto-tapi ada alasan kuat baginya untuk tidak pergi.

Keluarganya.

Tidak, bukan karena ia manja atau takut tidur sendirian saat malam. Ia hanya tidak ingin pergi sebelum tahu ada masalah apa dalam keluarganya, dan tentu saja, ada sesorang yang benar-benar tidak ingin ditinggalkannya. Orang itu benar-benar menyayanginya-Sasuke yakin itu-dan ia sendiri memiliki perasaan sayang-atau perasaan yang lebih dalam-pada orang itu.

Matahari hampir condong sepenuhnya ke barat. Bayang-bayangnya tampak jauh memekat dibanding tadi pagi saat ia datang ke sana. Ia suda tiduran di sana sejak berakhirnya pelajaran Matematika, lalu berganti posisi dari tiduran-duduk-tiduran-duduknya.
Ia mengambil tasnya, lalu berjalan ke luar dari area bangunan itu. Sebelum keluar dari pagar itu, entah kenapa ia merasa harus melihat lagi bangunan itu untuk kesekian kalinya. Sungguh. Bangunan tua tak terawat itu memberikan sensasi aneh tersendiri di hatinya. Sebuah perasaan hangat yang nyaman, meski terasa janggal. Entah kenapa, ia sangat menyukai rumah itu. Aneh, tapi sangat . . . . . . . .nyaman.
Sama seperti perasaannya saat bersama orang itu.
------------------- xXx -------------------
Di sebuah perusahaan . . . . .
Tepatnya, di lantai 14, setelah keluar dari lift belok kiri, lalu melihat meja resepsionis, lewati saja, jalan lurus, ada pertigaan ?>?>?>?>?>?>?>?>?>?> belok kanan. Jika melihat pintu kayu yang terkesan kokoh, lewati saja. Terus jalan, lalu saat melihat tulisan ‘Kantor Direktur’ lihat sebelah kanan. Akan ada pemandangan sore dari sebuah kota padat. Di bawah sana, ada beratus-ratus mobil dengan segala merk dan ukuran, berderet-alias macet. Tapi di atasnya, di batas cakrawala, kau bisa melihat semburat jingga matahari yang akan kembali ke peraduannya.
Juga bangunan-bangunan pencakar langit yang sudah mulai memperlihatkan kerlip-kerlip lampu sebagai penerangan, meski hari belum terbilang gelap.[5]
Jika-dan hanya jika-kita kembali pada fanfic ini, akan terdengar suara-suara dari dalam ruangan yang tertutup pintu berplat tadi.
Samar-samar, jika kita mengintip dengan kekuasaan sudut pandang orang ketiga, kita akan tahu apa yang terjadi.
“Itachi,”
“Ya, Otousan?”
“Blakangan ini beredar kabar burung tentangmu,” suara berat itu terhenti, dan melanjutkan, “Juga tentang Sasuke,”
Itachi bergeming. Tidak mengerti arah pembicaraan ini. “Otou-san, tentu saja. Aku adalah anak pertama dan Sasuke adalah anak kedua dari seorang Fugaku Uchiha, pemilik, direktur, penguasa-dan apapun itu-dari Sharingan Corp™. Tentu saja kami menjadi bahan pembicaraan,” katanya tenang.
Fugaku menaikkan sebelah alisnya. “Kali ini, kabar yang beredar sama sekali tidak ‘pantas’,”
Itachi tersenyum. “Mungkin kabar itu hanya buatan perusahaan saingan kita. Otou-san tidak perlu terlalu mencemaskannya,”
“Hn,”
Mereka berdua sama-sama terdiam. Dan karena di luar sana, dari jendela bening pengganti dinding ruangan itu, langit sudah berubah mnjadi jingga, Itachi memutuskan untuk pergi.
“Jika hanya itu, Otou-san, aku akan pulang,”
“Tunggu!”
Itachi yang sudah 2 langkah berbalik, terpaksa menoleh ke arah ayahnya lagi. “Ada apa?”
“Kau mengenal Uzumaki Deidara, kan?”
Itachi mengerutkan alisnya, tapi seperjuta detik kemudian mengubah wajahnya menjadi tanpa ekspresi. “Ya,”
“Bagaimana hubungan kalian?”
“Baik,”
Fugaku menarik nafas, dan menghelanya dengan gaya (sok) berwibawa. “Apa hubungan kalian?”
“Ia temanku sejak di universitas,”
Fugaku tersenyum samar (namanya juga Uhiha). “Kau boleh pergi,”
Dan dengan itu, Itachi keluar dari ruangan itu. Meninggalkan Fugaku yang menghela nafas lega, meski masih merasakan sedikit stres di kepalanya.
------------------- xXx -------------------
Keesokan harinya, di ruang kerja Itachi. 2 lantai di bawah ruangan ayahnya, sekitar pukul 11 pagi.
Kring . . . kring . . . .
Teleponnya berdering nyaring tepat di atas meja. Itachi, yang sedang berada di bawah meja untuk mengambil borupen yang terjatuh karena tidak sengaja menyenggolnya saat hendak mengambil nooto pegawai, terkejut dan akhirnya cepat-cepat berdiri, sampai kepalanya terantuk meja dengan tidak elitnya.
Sambil menggenggam borupen di tangan kanan, dan mengelus kepalanya dengan tangan kiri, ia berdiri dan mulai menyumpah-serapahi orang yang menelepon itu. Ia mengangkat gagang telepon dengan tangannya yang bebas *dia punya berapa tangan?* ia pun menyapa seseorang di seberang sana dengan kalimat sopan-tapi-sinis, dengan nada agak rendah, plus ketukan 4 per 4 (??)
“Ya? Uchiha Itachi di sini,”
Dan suara selanjutnya membuat kepalanya lebih sakit dibanding saat ‘mencium’ meja barusan.
“DATANG KE KANTORKU SEKARANG !” teriak Fugaku.
Setelah merasa keadaan aman untuk telinganya, Itachi mendekatkan gagang telepon dan berkata, “Baik, Otou-san,”
Tapi ternyata, teleponnya sudah diputus.
“Dasar ayah emo,” rutuknya kesal.
------------------- xXx -------------------
Itachi sudah berada di ruangan ayahnya, yang terlihat amat-sangat-marah. Ekspresinya benar-benar sangar dan menakutkan.
“Otou-san, ada apa? Ada masalah dengan hasil kerjaku?” tanya Itachi, tenang, meski jantungnya bertap dance dengan irama cepat.
Fugaku mendengus sebelum menjawab. “Ototou-mu! Sekolahnya mengirimkan surat kalau ia sudah membolos seminggu ini,” nada kesal terasa kental dalam setiap kalimat yang ia lontarkan.
Itachi mengangkat sebelah alisnya. “Sasuke? Bolos?”
Fugaku bergeming. Tapi tatapannya mengarah pada sebuah surat tak berdaya yang tergeletak di atas mejanya. Itachi mengambil kertas itu, dan membacanya. Seperti kertas tak berdaya itu sudah sempat menjadi korban-pembejekan-Fugaku, karena kertas itu sudah keriting.
Itachi mengernyit. Di surat itu tertulis bahwa Sasuke sudah seminggu ini masuk sekolah, tapi sebelum jam pelajaran berakir sudah menghilang. Ia melipat kertas itu acak-acakan dan meletakkannya di tempat semula.
“Otou-san sudah menelepon sekolah? Apa hari ini dia ada di sekolah?”
“Hn,”
“Biar aku yang telepon,” kata Itachi. Ia menekan-nekan layar Iphone-nya, lalu meloudspeaker percakapannya.
“Selamat pagi. Konoha High School di sini. Ada yang bisa kami bantu?,” terdengar suara seorang operator wanita di seberang sana.
“Uchiha Itachi, kakak Uchiha Sasuke, kelas X, er, mungkin Xa,” kata Itachi.
Operator di sana beroh kecil dan berkata, “Apakah Anda ingin menanyakan perihal Uchiha Sasuke? Akan saya sambungkan pada walinya. Harap tunggu beberapa saat,”
Itachi menunggu beberapa saat, sampai terdengar suara serak-serak basah dari ujung telepon. “Kakashi Hatake. Wali kelas Xa,”
“Aku Itachi,”
“Oh, kau. Kebetulan. Kami baru saja mengirim surat pada Ayahmu,”
“Yah. Aku ingin meminta kejelasan,”
“Seperti yang ada di surat itu. Seminggu ini, Sasuke membolos,”
------------------- xXx -------------------
Sasuke menutup gerbang rumah tua itu dan hendak berjalan menuju rumah ketika sebuah suara yang sangat familiar mengalun di udara.
“Aku penasaran kapan kau akan keluar dari sana. Ternyata sesore ini,”
Sasuke berbalik. Ia menemukan seorang pemuda yang lebih jangkung darinya berdiri menyender pada badan mobil sport merah keluaran terbaru, edisi terbatas yang hanya dijual di Prancis *nyasar deh ni cerita* Pria dengan rambut hitam sebahu yang diikat ke belakang kepala, dengan setelan jas hitam dan kulit putih pucat. Wajahnya tampan, sama tampan dengan Sasuke. Orang itu berbicara sambil menutup matanya.
Menyadari tak ada tanggapan dari lawan bicaranya, ia membuka matanya. Tampak sepasang mata hitam kelam, yang terasa lebih pekat dibanding gelapnya malam. Mata yang membuat semua orang takut, sekaligus takjub dalam waktu bersamaan. Mata yang juga dimiliki Sasuke.
“Aniki, sedang apa di sini? Oh, aku menunggu kapan kau akan pulang. Eh, tapi aku sekarang sudah pulang. Jadi kita pulang berdua dengan mobil baruku saja. Tentu saja. Baiklah, ayo, Sasuke-chan... dan mereka berdua pun hidup bahagia selamanya,” kata Itachi. Ia berbicara seolah ia Sasuke dan dirinya sendiri yang sedang berbicara.
“Berhentilah bertindak bodoh. Ucapanmu sama sekali tak ada artinya,” kata Sasuke dingin. Ia berjalan mendekati anikinya dengan gaya cool dan terlihat agak ogah-ogahan.
“Berhentilah bertindak seolah kau tidak punya emosi, anak muda. Kehidupanmu masih sangat panjang, jadi jangan terpaku pada satu masa .... “ dan ceramah Itachi terhenti karena sebuah tas berisi buku-buku setebal Harry Potter and The Order of The Phoenix menggamplok tepat ke wajahnya.
“Berhenti bertingkak dewasa dengan gaya sepeti itu. Kau terlihat sangat konyol tahu!” kata Sasuke. Ia kesal sendiri dengan sifat kakak satu-satunya itu.
“Kalau begitu, ayo pulang,” kata Itachi. Kali ini, Sasuke bisa merasakan keseriusan dalam kata-kata itu. Jadi, ia masuk ke dalam mobil itu dan duduk di kursi penumpang tepat di sebelah Itachi.
Itachi mengendarai mobilnya dengan kecepatan 80 mil per jam, dan Sasuke sedang menghitung-hitung dengan rumus kecepatan rata-rata, kapan mereka akan sampai di rumah yang jaraknya sekitar 20 km dari sana.
------------------- xXx -------------------
“Jadi, Sasuke. Kenapa kau bolos belakangan ini?” tanya Fugaku Uchiha, Otou-san Sasuke sekaligus Otou-san Itachi.
Sasuke ber’hn’ria sebelum menjawab. “Aku hanya menunjukkan penolakan terhadap tawaran sekolah di Otto. Orang-orang dari Otto itu selalu mengikutiku ke manapun aku pergi di lingkungan sekolah, membuatku kehilangan privasi. Jadi, satu-satunya solusi adalah bolos,” katanya penuh penekanan.
Fugaku mengernyit. Ia jarang mendengar Sasuke bicara sebanyak ini. Dan jika hal ini sudah terjadi, berarti ini hal yang penting. “Baiklah. Kalau kau memang tidak ingin pindah ke Otto. Meskipun aku berharap kau mau sekolah di sana. Kau tahu sendiri, kakakmu lulus dari sekolah terbaik di sana,” kata Fugaku.
‘Dan itu membuatku merana,’ batin Itachi.
‘Huh, apa bagusnya sekolah yang sudah membuat Aniki jadi konyol begitu?’ batin Sasuke.
“Kalian boleh pergi,” kata Fugaku. Sasuke dan Itachi berbalik. Tapi saat Itachi hendak mencapai pintu, ia memanggilknya lagi. “Itachi, tinggallah sebentar. Ada yang ingin kubicarakan,”
------------------- xXx -------------------
Sasuke duduk di pinggir kasurnya. Ia masih belum melepas seragamnya, hanya mengendorkan ikatan dasi di lehernya dan membuka beberapa kancing bajunya. Tasnya tergeletak begitu saja di atas meja belajar.
“Hah,” ia mejatuhkan pungggungnya ke atas tempat tidur, terhenyak pada pemikirannya sendiri.
‘Sebenarnya apa, sih yang kupikirkan? Kenapa ini malah jadi sulit, sih? Merepotkan, saja. Cih, aku belum buat PR. Nanti malam saja. Uh... aniki mana sih? Memangnya mereka bicara apa, sih? Perusahaan? Kalau aku dianggap cukup dewasa untuk tinggal sendiri di Otto, kenapa aku tidak dianggap cukup dewasa untuk ikut dalam masalah keluarga? Cih, apaan sih, perasaan ini. Malah ada perasaan aneh. Hah, firasat buruk? Atau apa? Ahh.... kenapa sih aku ini?! Kenapa malah berpikir yang aneh-aneh??!!’ [3]
“Hah! Menyebalkan!” teriak Sasuke.
“Apanya?”
“Eh?” Sasuke mendongakkan kepalanya, sekedar memastikan siapa yang datang. “Aniki, Otou-san bicara tentang apa?” tanya Sasuke langsung.
Raut wajah Itachi sedikit berubah, tapi ia sukses menyembunyikannya dari Sasuke. “Biasa. Perusahaan. Memangnya kenapa?”
“Aku hanya merasa terasingkan,” kata-kata Sasuke itu sukses membuat Itachi melongo. Pria berumur 22 tahun itu berjalan mendekati adiknya dan duduk di tepian tempat tidur.
“Kurasa tak ada hal yang bisa membuatmu merasa seperti itu,” kata Itachi. Ia memberi senyuman hangat pada adiknya.
“Hn,” hanya itu balasan yang diberikan Sasuke.
Itachi melonggarkan dasinya, dan menggulung lengan bajunya sebatas siku. “Kau tidak mau cerita padaku?”
Sasuke mendongakkan kepalanya, dan kali ini merubah posisinya menjadi duduk di atas kasur. “Hanya masalah kecil bagi Aniki, mungkin,” Itachi menyamankan duduknya dan bersiap mendengarkan cerita Sasuke. “Kurasa jika Otou-san menganggapku cukup dewasa untuk tinggal sendiri di Otto, ia juga harusnya menganggapku cukup dewasa untuk tahu tentang masalah perusahaan. Tapi ia sama sekali tidak pernah berbicara apapun tentang itu padaku,”
Sasuke diam. Itachi juga diam.
Hening.
Setelah beberapa menit, Itachi buka suara. “Kau benar-benar tidak melanjutkan ceritamu rupanya,”
“Yah, hanya itu yang ingin kukatakan,”
Dan yang terjadi selanjutnya tidak terduga sama sekali oleh Sasuke.
Itachi memeluknya, memberikan rasa hangat yang begitu nyaman. Sasuke menyukai ini. Mereka terus berpelukan sampai Itachi merasa ototounya siap mendengarkannya lagi.
“Kurasa Otou-san menganggapmu tidak menerima tawaran sekolah di Otto itu karena kau belum siap. Jadi dia tidak mau menambah bebanmu dengan membicarakan masalah perusahaan padamu,” kata Itachi sambil mengacak-acak rambut pantat ayam Sasuke.
“Hn, berantakan tahu!”
“Kau seharusnya mengatakan pada Otou-san apa alasanmu menolak tawaran sekolah di Otto,”
Sasuke terdiam sebelum menjawab, “Kau tahu apa alasannya,” Sasuke memandang anikinya penuh arti, memastikan pemuda di depannya paham apa yang ia maksud.
Itachi tersenyum simpul. “Yeah. Kurasa aku tahu apa alasanmu,” Mereka berdua memandang kedua mata hitam kelam milik orang di depan mereka lekat-lekat, mengikuti insting saling mendekatkan wajah.
Dan bibir mereka bersatu.
------------------- xXx -------------------
Fugaku duduk di balkon kamarnya. Istrinya, Mikoto, telah terlelap sejak tadi. Sebenarnya ia juga sempat tidur, tadi, tapi terbangun lagi. Rona stres menghiasi wajah dengan struktur tegas itu.
Keadaan halaman belakang rumahnya yang rapi, dengan tatanan tanaman-tanaman hias yang tersusun rapi-diurusi istrinya-cukup menghibur-walau sedikit-kegalauan di hatinya.
‘Hh, apa ini benar?’
FLASHBACK : ON
Fugaku sedang berdiri membelakangi meja kerjanya, menghadap ke arah tembok kaca yang memperlihatkan pemandangan mobil-mobil macet 14 lantai di bawahnya. Ia sedikit meregangkan otot-otot tangannya yang terasa kaku.
“Eum, rasanya nyaman. Hah, pasti akan menyenangkan kalau nanti malam aku pulang lebih awal dan makan malam bersama,”
Sebuah ketukan di pintu membuyarkan keinginan Fugaku untuk sekedar ‘berharap’ bisa pulang cepat.
“Masuk!” katanya dengan nada datar, tegas dan jelas, juga cukup keras.
Seorang wanita muda, berambut hitam sebahu, dengan pakaian ketat dan rok mini masuk. Ia tersenyum manis, kemudian berjalan ke arah meja Fugaku. Yang disebut belakangan tidak menaruh perhatian pada sekretarisnya itu.
“Uchiha-san, ada kabar buruk,”
Fugaku berbalik secepat kilat. Ia memang mendengar bahwa beberapa hari ini harga saham Sharingan Corp™ mengalami penurunan. Ia tidak siap, dan tidak akan siap, jika harus mendengar sahamnya harus ‘digadaikan’.
“Hn,” tapi karena adanya gengsi tinggi keluarga Uchiha, dan disertai kebiasaan yang sudah tertanam di otaknya, bahwa semua keadaan harus dihadapi dengan wajah tanpa ekspresi *sape yang ngajarin sih?!*
“Ini mengenai kedua putra Anda,”
Fugaku terhenti dari lamunannya tentang pelelangan rumahnya, dan penggadaian saham, dan hal lainnya. Sekarang pikiran yang lebih buruk merasuk ke dalam otaknya.
‘Jangan kecelakaan. Semoga mereka baik-baik saja’
“Hn,”
Sekretaris itu merasa mendapat mandat untuk melanjutkan, jadi ia langsung to the point.
“Belakangan ini beredar kabar bahwa Uchiha Itachi dan Uchiha Sasuke memiliki hubungan khusus,”
Fugaku tertawa mengejek. “Tentu saja. Apa mereka tidak tahu kalau mereka berdua anak kandungku?”
“Bu . . bukan itu. Maksud saya, terdengar kabar burung bahwa mereka berdua, em, yah, punya hubungan yang lebih dari ikatan persaudaraan,”
‘Lebih dari persaudaraan? Tidak ada, ‘kan?’
Fugaku mendengus.
“Mereka, orang-orang di kantor ini mendengar kabar bahwa, antara Tuan Itachi dan Sasuke menjalin hubungan, em, asmara. Maksud saya, mereka adalah sepasang kekasih,”
JDER!
Fugaku Uchiha, selama 45 tahun menjalani kerasnya kehidupan, dan berusaha tidak tersesat dalam jalan bernama kehidupan *niru Kakashi* baru pertama kali ini mendengar hinaan seperti ini.
Bagaimana tidak? Kedua putranya, yang sama-sama laki-laki digosipkan menjadi sepasang kekasih. Baginya, itu penghinaan yang sangat rendah dan kotor.
FLASHBACK : OFF
FLASHBACK : ON
Uchiha Fugaku berjalan menuju lift. Ia baru saja menyelesaikan makan siangnya sendirian di restoran dekat kantor, karena ia menyukai rasa makanan di sana. Saat pintu lift terbuka, ia hendak masuk, tapi terhenti saat mendengar percakapan beberapa pegawainya.
“Ya. Tadi pagi, aku melihat Itachi-san menelepon adiknya dengan nada yang sangat mesra. Seperti mereka bermanja-manja sekali,”
“Benarkah?” kata seorang wanita.
“Mereka sangat cocok, ya?” kata seorang lagi menimpali.
“Ya. Sayangnya, mereka bersaudara, dan sama-sama laki-laki,”
“Padahal aku ingin masuk Uchiha Sasuke Fans Club, dan baru saja memutuskan keluar dari Uchiha Itachi Fans Club, sa-“
“Ehem,”
Suara batuk dari Fugaku menyadarkan ketiga wanita itu dari obrolan mereka. Mereka bahkan tidak sadar kalau pintu lift sudah terbuka, dan terkaget-sekaligus takut-karena di depan mereka sudah berdiri bos mereka, ayah dari orang yang baru saja mereka gosipkan.
“Sebentar lagi jam makan siang berakhir. Sebaiknya kalian bergegas agar tidak terlmbat bekerja,” kata Fugaku. Ketiga wanita itu mengangguk penuh hormat-sebagiannya karena malu dipergoki sedang bergosip.
Dan Uchiha Fugaku memutar arahnya, berjalan menuju tangga darurat.
‘Jika lelah, aku pasti bisa cepat tidur,’
FLASHBACK : OFF
Fugaku memandang ke dalam langit malam. Begitu kelam, hitam, dan gelap. Pekat.
Matanya masih belum mengantuk, dan ia berusaha berhenti memikirkan apa-kata-bawahannya. ‘Itu tidak penting’ batinnya.
Dan dengan hati mantap, ia masuk ke dalam kamarnya, berusaha tidur dan berharap mendapat mimpi indah.
------------------- xXx -------------------
Itachi duduk di balkon. Malam itu angin berhembus kencang, membuat rambut hitam sebahunya yang tergerai berantakan. ‘Mungkin memang tidak boleh’ pikirnya. ‘Seharusnya aku tidak usah kembali saat itu. Mungkin seharusnya aku tidak kembali ke Konoha saat Sasuke tahu orientasinya’ Itachi menghembuskan nafas berat. ‘Tapi jika aku melihatnya dengan orang lain, aku yakin aku tidak akan tinggal diam’
FLASHBACK : ON
Itachi berdiri di depan meja Otou-sannya. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Otou-sannya saat itu, karena sepertinya semua masalah perusahaan sudah selesai ia kerjakan.
“Itachi,”
“Hn,”
“Otou-san akan menjodohkanmu dengan seorang gadis dari keluarga Uzumaki,”
Hening.
Itachi masih memproses data yang diperoleh otaknya.
“Tunggu dulu. Tadi Otou-san bilang perjodohan, kan? Tunggu dulu! Maksudnya aku akan dijodohkan?” kata Itachi. Ekspresi yang biasanya tidak terpancar di wajahnya-kecuali saat ia bersama Sasuke-tiba-tiba muncul. Rona marah menghiasi wajah tampannya.
“Ya. Sasuke masih terlalu muda untuk dijodohkan. Lagipula,” Fugaku menarik nafas, merasa berat harus mengatakan hal ini pada putra sulungnya, “keluarga Uchiha membutuhkan penerus, Itachi. Kau dan Sasuke tidak mungkin bisa,”
FLASHBACK : OFF
Itachi merapatkan jaketnya. Udara dingin menyadarkannya. Besok malam Otou-sannya akan mengadakan pesta pertunangannya dengan Deidara, putri sulung keluarga Uzumaki. Sebenarnya Deidara adalah teman Itachi saat mereka sama-sama kuliah di Otto, dan sudah jelas Deidara tahu keadaan Itachi.
Tapi, meskipun begitu, toh di sini hubungan kedua perusahaan sepertinya lebih diutamakan dibandingkan perasaan.
‘Kalau begini, seharusnya sejak awal tidak memberikan Sasuke harapan,’
------------------- xXx -------------------
Beberapa hari kemudian . . . .
Sasuke baru saja sampai di kediaman Uchiha sepulang sekolah-ia tidak membolos lagi-saat melihat semua pelayan sibuk menghias rumah.
“Kaasan, ada apa?” tanya Sasuke pada Mikoto, ibunya.
Mikoto tersenyum sebelum menjawab. “Ini memang mendadak, tapi Otou-sanmu sudah memutuskan bahwa besok akan diadakan pesta pertunangan kakakmu dengan Deidara-san,”
Sasuke terdiam. Perlu beberapa waktu baginya untuk mencerna dengan jelas informasi yang diberikan Kaa-sannya itu.
Ada sesuatu yang dari kata-kata itu yang membuat Sasuke merasa sakit. Sakit di dadanya, menusuk tepat ke jantungnya *lebai*
“Tunggu! Jadi, Itachi-niisan akan menikah dengan Deidara-neesan?” kata Sasuke. Wajahnya memucat.
“Kami berharap begitu, Sasuke. Tapi hari ini hanya akan diadakan pesta pertunangan mereka,”
Sasuke terhenyak di tempat. Sinar matanya meredup. Tatapannya dialihkan ke arah langit-langit yang sedang dihias oleh beberapa pekerja.
Mikoto melihatnya. Ia melihat ekspresi sedih, kecewa dan sakit di wajah putra bungsunya. “Sasuke,” katanya lembut, “Kaasan mengerti perasaanmu. Tapi ini demi kebaikan kita semua. Demi kebaikan klan Uchiha,”
Sasuke menunduk. Rasa sakit di dadanya semakin menjadi. Rasanya nafasnya tercekat, dan itu membuat dadanya sesak. Sakit dan sesak.
Mereka membisu. Hanya terdengar suara palu menghujam paku dan beberapa suara berisik akibat pekerja yang menghias ruangan itu.
“Kaasan,” kata Sasuke. Entah mengapa, suaranya terdengar datar. Atau tepatnya, kosong.
“Ya, Sasuke-kun?”
“Apa kalau kita jauh dan tidak pernah bertemu dengan seseorang, kita akan bisa melupakannya?”
Mikoto tidak langsung menjawab. Sasuke masih menunduk, sama sekali tidak memperlihatkan bagaimana ekspresinya, bagaimana perasaannya. Tapi Mikoto jelas tahu, putra bungsunya akan mengalami luka yang sangat dalam, dan sangat menyakitkan. [6]
“Mungkin bisa,” kata Mikoto.
Dan itu sudah menjadi dasar kuat bagi Sasuke untuk mengambil keputusan.
------------------- xXx -------------------
Pesta berlangsung meriah. Semua tamu tersenyum, takjub melihat sepasang pria dan wanita muda yang sedang bertunangan. Sang pria begitu tampannya, dengan jas hitam dan membuatnya terkesan dewasa dan berwibawa. Sedangkan sang wanita terlihat amat anggun, dibalut gaun sutra berwarna merah dengan gaya Eropa klasik.
Musik mengalun lembut dari dentingan tuts piano yang dimainkan oleh adik Deidara, Uzumaki Naruto. Nada-nada yang menenangkan menguap di udara, menjadikan suasana romantis seketika. Hampir semua tamu turun ke lantai dansa, menari bersama pasangan mereka. Kecuali beberapa orang, yang masih berbicara mengenai bisnis-bisnis mereka.
Itachi dan Deidara sedang berdansa. Meski tidak bisa dibilang menikmati musik itu.
“Tachi-kun, un. Kau seharusnya menolak ini, un,” kata Deidara.
“Entah kenapa aku tidak bisa,”
Deidara memonnyongkan bibirnya. “Kau harus lebih tegas, un. Kau mencintainya dan dia mencintaimu, un. Jadi kenapa kau tidak menolak ini, un?”
Itachi menghela nafas. “Ku pikir, kelangsungan keluarga Uchiha itu penting. Lagipula, aku tidak berhak merusak masa depannya dengan hidup bersama denganku ”
Deidara tiba-tiba berhenti berdansa. Ia memandang tak percaya ke arah Itachi.
“Kau lebih bodoh dari dulu, un. Dulu kupikir kau keren, un. Ternyata kau sangat idiot, un,” Deidara melepas pelukannya dari Itachi agar mereka bisa bicara berhadap-hadapan. Tapi mendapat pandangan aneh dari tamu-tamu yang datang, ia menarik tangan Itachi keluar dari ruang pesta. “Kita perlu tempat untuk bicara, un,”
------------------- xXx -------------------
Di sudut ruangan, Sasuke berdiri sambil memandang seseorang. Ia memandang Itachi yang sedang berdansa dengan Deidara. Ia tidak ingin mengakui ini, tapi Itachi dan Deidara memang pasangan yang serasi. Ia tidak mempedulikan pandangan beberapa wanita muda bergaun seksi yag sedari tadi memperhatikannya.
Ia tidak bisa berhenti memandang pemuda itu. Pemuda yang memiliki wajah mirip dengannya, meski tentu saja, memiliki perbedaan yang cukup mencolok, terutama di bagian rambut.
Ia menghela nafas berat, berusaha mengalihkan pandangannya. Tapi tepat saat ia akan berbalik, ia melihatnya. Deidara memegang tangan Itachi dan menariknya keluar ruangan pesta.
“Jadi begitu? Perlu tempat untuk berdua, eh?”
Sasuke merasakan itu. Perasaan cemburu membakar dirinya. Rasanya seakan semua perasaan marahnya bercampur menjadi satu, dan akan meluap saat itu juga.
Tapi tidak. Dia adalah seorang Uchiha. Dan seorang Uchiha tidak pernah kehilangan kontrolnya. Tidak pernah.
“Lagipula, aku akan segera pergi,”
------------------- xXx -------------------
Deidara mengajak Itachi berbicara di taman.
“Itachi-kun. Aku menerima tawaran Otou-sanku untuk bertunangan denganmu karena kupkir kau pasti menolaknya, un. Otou-sanku tidak akan mendengarkanku jika hanya aku yang melakukan ‘pelawanan’, un. Tapi jika kau yang menolak perjodohan ini kedua orang tua kita pasti akan membatalkan perjodohan ini, un,”
Itachi mengeluh. “Mungkin memang sebaiknya aku membatalkan semuanya. Tapi sepertinya semua sudah terlambat,”
Deidara tampak berpikir. Dan seperti ada yang menyalakan lampu di kepalanya, ia berteriak keras, “Aku tahu!”
Itachi sampai terlonjak kaget. “Ada apa?”
Deidara tersenyum simpul. “Kurasa keputusanmu menerima perjodohan ini sangat tepat, Tachi-kun. Dan aku tahu bagaimana caranya membuat semuanya mendapat akhir yang bahagia,”
Deidara menyeringai senang, sedangkan Itachi hanya diam kebingungan.
------------------- xXx -------------------
Sementara itu di ruang pesta.
“Otou-san, aku ingin bicara,”
Fugaku mengalihkan pandangannya dari teman bisnisnya yang sedang bercerita mengenai bagaimana serasinya Itachi dan Deidara. Ia hanya megangguk dan berjalan mendahului Sasuke.
Mereka berbicara di ruang kerja Fugaku.
“Jadi, Sasuke. Apa yang ingin kau bicarakan?”
Sasuke berdiri tepat di mana ia berdiri beberapa hari lalu, saat ia meyakinkan Otou-sannya bahwa ia tidak akan pergi ke Otto. Tapi sepertinya pernyataannya saat itu akan ia bantah sekarang.
“Aku akan menerima tawaran sekolah di Otto,”
Fugaku mengernyit, sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Aku benar-benar beruntung, Sasuke. Kalian berdua memang selalu membuatku bangga. Dan sekarang, kau memberikan keputusan yang sangat tepat saat Itahi juga bertunangan. Benar-benar hari yang menyenangkan,”
Fugaku menghela nafas, ringan dan begitu tenang. “Katakan saja apa kebutuhanmu dan Otou-san akan menyanggupinya,”
Sasuke menggeleng. “Aku hanya memerlukan pakaian dan beberapa buku pelajaran baru. Sekolah itu menyediakan asrama, jadi Otou-san tidak perlu mengurus apartemen atau apapun. Aku bisa mengurus semuanya sendirian,”
Fugaku sedikit terkejut dengan kata-kata putra bungsunya itu, tapi ia membiarkan saja putranya berkembang. “Kapan kau akan berangkat?”
“Besok. Aku sudah menyiapkan semuanya. Administrasi jelas sudah selesai karena orang-orang dari Otto High School sudah menyelesaikan semua surat-suratnya bahkan sebelum aku setuju,”
------------------- xXx -------------------
Itachi berlari-lari di antara para tamu, memaksakan nafasnya yang terengah-engah untuk menemukan apa yang ia cari. Sasuke benar-benar tidak ada di ruangan itu. ‘Kemana dia?!’ pikirnya.
“Itachi-kun?” terdengar suara lembut memanggil namanya.
“Ah, Kaasan. Apa Kaasan lihat Sasuke?”
Mikoto tersenyum. “Ya, tadi dia bersama Otou-sanmu. Mungkin mereka ke ruang kerja Otou-sanmu,”
Itachi berlari menyeberangi ruangan, memacu semaksimal mungkin kakinya agar ia bisa secepatnya sampai di ruang kerja Otou-sannya.
------------------- xXx -------------------
Nafasnya masih ngos-ngosan, tapi ia berusaha menerapkan beberapa tips-tips Uchiha agar tetap terlihat tenang. Bagaiamanapun, d manapun, dalam keadaan apapun, seorang Uchiha harus tetap tenang dan stay cool.
Ia baru saja akan menarik gagang pintu, saat dia mendengarnya. Ia mendengar kata-kata yang sama sekali tak ingin didengarnya. Sama sekali bukan kata yang baik untuk jantungnya, terutama berpengaruh buruk pada hatinya yang entah kenapa sekarang terasa sesak.
Bahkan dari balik pintu kayu yang tebal itupun, ia masih mendengarnya. Ia masih bisa mendengar suara Sasuke.
“Aku akan menerima tawaran sekolah di Otto,”
------------------- xXx -------------------
Sasuke sudah mempersiapkan segalanya. Pakaian dan beberapa buku yang akan dibawanya untuk tinggal di asrama nanti. Ia hanya membawa sebuah koper kecil dan tas ransel di pundaknya.
“Kau yakin?” tanya Mikoto.
Sasuke hanya mengangguk sekenanya.
“Kau yakin kami tidak perlu mengantarmu sampai di Otto?” tanya Mikoto lagi. Lagi-lagi Sasuke menjawab dengan ‘Hn’ seadanya.
Mikoto tersenyum miris. Mau bagaimana lagi. Itu keputusan Sasuke. Dan meski itu usia yang masih sangat labil, toh keputusannya untuk pergi ke Otto sudah bulat.
“Sasuke,” sebuah suara mengalun di udara, terdengar terlalu berat untuk pria berusia 22 tahun.
Sasuke menoleh. Ia melihat Itachi sekilas dan hanya menggumamkan ‘hn’nya lagi.
“Semuanya sudah kau siapkan?” tanya Itachi.
“Hn,”
“Bagus,”
“Hn,”
“Aku akan menelponmu minggu depan jadi pastikan handphonemu aktif,”
“Hn,”
“Jika tidak aku akan menyusulmu ke sana,”
“Hn,”
Dan berangkatlah Uchiha Sasuke ke Otto.
------------------- xXx -------------------
Seminggu kemudian . . . .
“Wah, wah. Ternyata kau memang pintar. Pantas saja sekolah ini sampai mengejar-ejarmu untuk sekolah di sini,” kata seorang remaja berambut pirang dan bermata biru cerah, Uzumaki Naruto, adik Deidara.
Sasuke hanya mendengus kesal. Entah apa dosanya sudah sangat banyak sampai-sampai ia sekamar dengan pria berisik itu *sasunaru fans, maafkan saiia. Konteksnya emang kayak gini. Kalian boleh ngeflame kok. Saiia sendiri pecinta sasunaru. Tapi dapet ide beginian* Apalagi fakta bahwa ia adk Deidara dan kemiripannya yang tinggi dengan kakak perempuannya itu membuat Sasuke sulit untuk, uh, melupakan Itachi.
“Eh? Sasuke, hapemu mati tuh. Kayaknya baterainya habis,”
“Hn,”
“Dicharge dong!”
“Hn,”
“Ampun, deh, anak satu ini. Sasuke! Nanti kalau ada yang menelepon gimana?”
“Aku tidak peduli,”
“Hn,”
“Uchiha Sasuke?”
“Ada apa, Dobe?”
“Hei, bukan aku. Dia yang manggil, tuh!” kata Naruto sambil menunjuk seseorang berambut hitam yang sedang berdiri di depan kamar pintu mereka.
Sasuke mendongak, berhenti menghitung bagaimana konfigurasi elekton Rn dengan teori atom kuantum.
Matanya terbelalak melihat orang yang seharusnya ada di Otto mempersiapkan pernikahannya ada di sana.
“Itachi-niisan! Apa kabar?” sapa Naruto.
Itachi tersenyum simpul dan menjawab dengan anggukan kecil.
“Apa Dei-neesan tidak ikut?”
Kali ini Itachi sepertinya harus menjawab.
“Dia ada di mobil,”
Sasuke mencelos. Dia tahu seharusnya dia tidak perlu berharap, toh harapan itu sudah hilang dari dulu.
“Sasuke,” panggil Itachi.
“Hn,”
“Deidara ingin bicara denganmu. Dan aku juga harus bicara denganmu,”
Sasuke mendelik ke arah Itachi, memasang ekspresi malas. “Aku sedang mengerjakan tugas,”
“Yah, Teme! Itu kan mudah! Aku saja sudah selesai,” kata Naruto.
Sasuke meberikan Uchiha Death Glare™ pada Naruto yang langsung membuat orang yang disebut belakangan kabur.
“Sasuke,” panggil Itachi.
Bungsu Uchiha itu berdiri dengan ogah-ogahan, menutup bukunya dan berjalan menuju pintu. Ia sama sekali tidak mengizinkan matanya bertemu pandang dengan mata Itachi, atau ia akan tenggelam lagi ke dalam sana. Ke dalam sebuah perasaan aneh yang menyakitkan. Meski sebenarnya, perasaan senang dan hangat jauh meluap di hatinya karena dia ada di sana, tapi toh fakta bahwa Deidara juga datang memberikannya harapan kosong.
------------------- xXx -------------------
“Hai, Sasuke!” sapa Deidara ceria. Sifatnya benar-benar mirip dengan Naruto.
“Hn,”
“Ayolah! Hidupmu harus lebih bahagia, Sasuke-kun! Kau harusnya senang kami datang, un,”
Sasuke mendelik ke arah pohon di sebelahnya, alih-alih pada Deidara.
“Sasuke-kun, kau lucu, un,”
“Apanya?” celetuk Itachi.
“Bukannya kau sendiri yang bilang kalau Sasuke itu imut sampai kau rasanya tidak bisa berhenti ingin mencubit pipinya terus?” kata Deidara. Sasuke terkejut. Ke mana arah pembicaraan ini?
“Dei, jangan macam-macam,” ancam Itachi.
“Kau sudah setuju, Itachi-kun. Aku yang akan mengatur ini semua,” Deidara berhenti sejenak, ”karena kau tidak bisa diandalkan, un,” dan ia pun mendapat Uchiha Death Glare™ dari Itachi.
Hening beberapa saat sampai sebuah kata dengan nada tinggi menghambur di udara.
“Sasuke,” Deidara memulai.
“Hn,”
“Kau tahu kami akan menikah minggu depan, kan?” kata Deidara.
Telinga Sasuke memerah, tapi ia tetap stay cool. “Hn,”
“Kami, aku dan Itachi ingin kau datang,”
“Hn,”
“Pastikan kau datang atau kami tidak jadi menikah,” ancam Deidara.
‘Kalau begitu aku tidak akan datang’ batin Sasuke.
“Kau tahu, Sasuke?”
“Hn,”
“Aku dan Itachi, juga Otou-sanku dan Otou-san kalian sudah membuat keputusan,”
“Hn,”
“Memang ini tanpa persetujuanmu, tapi ini demi kebaikan kita semua,”
“Hn,”
“Aku akan menikah dengan Itachi,”
“Kau sudah mengatakaannya dan aku sudah tahu,”
“Tapi hubungan kami bukan suami istri,”
“H..” Sasuke terdiam. Dia hampir mengeluarkan ‘hn’nya, jika otaknya tidak merespon dengan cepat.
“Kami menikah, tapi bukan dalam arti ikatan batin,” [4]
Sasuke diam.
“Kami ‘menikahkan’ perusahaan kami,”
Sasuke masih diam.
“Jadi, pertuanangan itu pun murni untuk perusahaan,”
Sasuke tetap diam.
“Baik Itachi maupun aku boleh menikah dengan siapapun yang kami mau,”
Sasuke berusaha untuk diam.
“Dan itu berarti Itachi boleh bersamamu sampai kapanpun kalian mau,”
‘Oke! Cukup!’ batin Sasuke.
“Cubit aku!” kata Sasuke.
“Dengan senang hati!” kata Itachi, langsung mencubit pipi Sasuke.
“Arhg! Aniki! Kau gila!” kata Sasuke sambil mengelus pelan pipinya. Wajahnya memerah, entah karena efek cubitan atau karena sentuhan Itachi.
“Segila-gilanya aku, lebih gila orang yang mencintai orang gila seperti aku,”
“Aku tidak mencintaimu!” sembur Sasuke.
“Hm,, kau yakin?” kata Deidara. Ia memasang tampang (sok) berpikir.
“Uh,”
“Yah, sepertinya kita sudah dapatkan jawabannya,” kata Deidara.
“Tunggu dulu! Jawaban apa?”
“Tentang perjanjian kami. Aku bertaruh dengan Otou-san kalian, jika kami berhasil membuatmu kembali percaya pada Itachi, berarti dia sudah tidak boleh berbuat apa-apa lagi untuk menghalangi kalian.”
Sasuke berusaha berpikir. Lalu, terlintas sebuah pertanyaan di kepalanya. Tapi pertanyaan itu lewat begitu saja seperti pebalap F1, jadi ia lupa apa yang harus ditanyakannya. =.=
Itachi dan Deidara berpandangan nakal, seakan bicara lewat mata. Dan sepertinya membuat rencana baru.
Sasuke mengernyit. Tapi ia sudah tidak bisa berpikir jernih lagi sekarang.
Itachi menggamit lengannya, dan membuat mereka berhadap-hadapan.
“Tuan Uchiha Sasuke, mari kita memulai semuanya seolah dari awal,” kata Itachi.
Sasuke berusaha melepaskan tangannya. “Tunggu dulu! Seolah?! Apa maksudnya?!”
“Maaf, Tuan. Batasku untuk menunggumu sudah habis. Jadi, kau akan sekolah di sini dan aku akan membuka kantor cabang di Otto. Dan masalah selesai,”
Wajah Sasuke memerah, tapi ia tidak peduli. “Aku tidak setuju!”
“Tapi itu keputusanmu! Kau sendiri yang memutuskan bersekolah di sini. Dan keputusanku adalah menemanimu dengan membuka kantor cabang di sini,”
Sekarang, Sasuke tahu. Dia tidak bisa mengelak lagi.
“Aku dan Itachi memiliki hubunan mitra kerja yang sangat erat, dan kami sudah saling kenal sejak SMA. Jadi tidak ada alasan bagimu untuk cemburu padaku. Karena aku sendiri sudah punya pacar,”
Sasuke melengos, senang. “Eh?”
“Yup! Pacarku juga sekolah di sini dan menjadi Ketua Osis,” kata Deidara mantap.
Otak Sasuke kembali ke keadaan semula, dengan kata lain, loadingnya cepat. “Maksudmu, Sasori-senpai?”
Deidara mengangguk pasti. Sasuke melongo, tidak percaya.
“Dia memang masih 18 tahun, tapi toh kami hanya berbeda 3 tahun. Tidak masalah, kan?”
“Bukan urusanku,” kata Sasuke.
“Terserah,” kata Itachi.
Deidara tersenyum. “Kalian harus tetap kompak, ya! Jangan sampai membuatku kecewa!”
Deidara tampak akan pergi, tapi Sasuke mencegahnya. “Lalu, bagaimana dengan ‘kelanjutan keluarga Uchiha’?” tanyanya polos.
“Itu, ya?” Deidara berhenti, membuat Sasuke menahan nafas. Suasana terasa amat dramatis. “Ada teknologi baru yang dikembangkn oleh Profesor bernama OI yang memungkinkan terlahirnya bayi tanpa perlu wanita untuk mengandungnya. Hanya diperlukan gen dari kedua orangtua untuk menciptakan seseorang yang baru,”
“Terserah,” kata Sasuke.
“Bukan urusanku,” kata Itachi.
Deidara tertawa, lagi. “Aku akan pergi meninggalkan kalian. Silakan saja melakukan apapun yang kalian mau,”
88888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888
Setelah Deidara pergi . . . . .
“Uh, Aniki. . . . .pelan-pelan! Sakit, nih!”
“Aku suka sih,”
“Kohol,”
“Hhehe,”
“Dasar ngak berprikeuchihaan!!”
“Habis kamu imut! Aku jadi suka mencubit pipimu!”
Mereka berdua sedang duduk di bangku taman, dengan Itachi yang sedang mencubiti pipi Sasuke, dan Sasuke yang menghardik anikinya, er, pacarnya, dengan berbagai cacian kasih sayang *emangnya ada?
Dan begitulah. Ending yang rada maksa untuk cerita yang tiba-tiba namplok di otak saiaa.
********************************************
Sementara itu, beberapa meter dari sana, Uchiha Fugaku sedang meratap.
“Kalau begini, keturunan Uchiha hanya sampai di sini saja,” katanya sambil berurai air mata. Meski gak jelas air mata bahagia, sedih, pasrah, atau apalah. Kan authornya aja gak tau. Kemudian, ia pun mulai menelepon jasa marga, eh, jasa raharja untuk membuat asuransi masa tua.

FIN
----------------------------------------------------------------------
A/N :
[1] Itu asli pemikiran saiia. Beneran, saia bener-bener sebel sama ibu-ibu, ato tetangga yang suka ngegosip gak jelas. Segaje-gajenya fanfic saiia, masih jauh lebih gaje obrolan mereka tentang tetangga mereka. Saia gak suka cara mereka memandang permasalahan orang lain. Kenapa mereka gak ngebiarin aja orang lain menyelesaikan masalah orang lain tanpa ‘bantuan’ dari mulut monyong mereka? Mereka itu sok tahu. Saiia pernah ngerasa marah dan pengen ngelempar mereka pake sapu, tapi karena waktu itu sapu saia ada di dalem rumah dan nenek-tukang-gosip itu ada di seberang jalan sana dan saiia waktu itu nggak bisa nyebrang karena ada truk lewat, jadi saiia urungkan niat mulia saiia itu. Beneran, deh! Menurut saiia itu perbuatan mulia, karena dengan begitu mereka juga tahu kesalahan mereka. Gak cuma bisa nuding-nuding orang dengan gaya mencemooh kayak mereka adalah makhluk paling suci sedunia. Padahal, saiia rasa dosa mereka lebih banyak. Meskipun di ilmu sosilogi, pergunjingan atawa gosip termasuk dalam jenis ‘hukuman’ menurut saiia obrolan nenek-nenek sihir itu tentang ‘keburukan tetanggnya’ sangat menyebalkan. Udin, ah. Kepanjangan.
[2] Sebenernya, saiia maunya bikin Saskay kelas 9 SMP, en ditawarin beasiswa buat skul SMA si Otto, tapi males bikin acara ujian de el el. Jadilah, dia anak kelas sepuluh. Hehe *direbus, digoreng, dijual tapi gak ada yg mau beli*
[3] Begitulah pergolakan hati anak muda. Saiia pun mengalaminya. Secara saiia masih belasan tahun dan di bawah umur untuk dapet SIM. Kenapa sih kalau mau punya SIM minimal 17 tahun?! Berapa tahun lagi saiia harus menunggu?! *curhat gak penting*
[4] Bahasanya sungguh jadul
[5] Saiia kesel sama perusahaan-perusahaan keak gitu. Wong masih sore uda ngidupin lampu. Kan pemborosan! Gak tau apa itu bisa jadi salah satu penyebab global warming?!
Judul fic ini ‘The Last’ terinspirasi dari doujin yg saiia tonton (??) Mengisahkan *cielah, bahasanya* Ita yg rela terluka demi Sasu, adik sekaligus ukenya *ditampol* Sukurnya, gak ada adegan rated M. Cuma kissu kasih sayang-cinta. Nah, pas tu doujin kelar-hampir, Ita bilang, ‘kalau begini, klan Uchiha akan berakhir di sini.’ Mangsudnya, kedua keturunan terakhir, yg sama-sama cwo jatuh cinta pada sodaranya jelas gak bisa ‘menghasilkan’ keturunan baru, kan? Jadi, keluarga Uchiha ga bakal bisa ‘berkembang biak’ lagi.
[6] Mikoto jelas tahu kalo dua putranya ada hubungan ‘ehem’ dong! Secara naluri ibu itu kuat.
Hah..... saiia berusaha menyelesaikan fic ini di antara deru tawa nonton Extravaganza dan ditemani sebungkus kuaci. Hhiixx. Temen saiia, Tante-kun, bilang klu UCHHACEST itu lebih gak bermoral daripada yaoi biasa. Saiia jadi sedih. Tapi itu mungkin karena dia adalah Sasunaru-lover-forever.
Saiia gak tau kesambet apa saiia bikin fic beginian.... padahal tadi lagi ada pelajaran bahasa daerah, trus tiba-tiba muncul ide begini. Euh, review, ya . . . . . .